Opini

Ketika Moral Dikalahkan oleh Topeng: Framing, Rekayasa, dan Krisis Etika Publik

Oleh: Ketua Fokal IMM Kalimantan Timur, Ketua Majelis Tabligh PWM Kalimantan Timur 1995–2000, Masykur Sarmian

Editorialkaltim.com – Ruang publik Indonesia belakangan semakin riuh oleh penghakiman moral yang serba cepat, emosional, dan kerap tidak seimbang. Figur publiksiapa pun dia menjadi arena pelampiasan berbagai emosi sosial: kekecewaan, kemarahan, hingga standar kesalehan yang sering kali parsial. Namun persoalan mendasarnya tidak berhenti pada individu, melainkan pada cara kolektif kita memahami dan menilai moralitas. Kita hidup pada zaman ketika topeng lebih dipercaya daripada wajah asli, dan framing lebih menentukan daripada substansi.

Dalam lanskap semacam ini, moralitas tidak lagi diukur berdasarkan prinsip, melainkan persepsi. Yang menentukan bukan lagi apakah sesuatu itu adil dan bertanggung jawab, tetapi apakah ia terasa nyaman bagi selera mayoritas. Media sosial kemudian berfungsi sebagai ruang produksi makna, tempat citra dibangun, dipelihara, dan dihancurkan. Mereka yang mampu menjaga tampilan moral sering kali lebih mudah dimaafkan, sementara kejujuran yang tidak sesuai dengan ekspektasi publik justru menjadi sasaran kecaman.

Paradoks pun tampak jelas. Perilaku yang secara agama dan hukum halal, tetapi menuntut komitmen, kejujuran, dan tanggung jawab, kerap diposisikan sebagai aib sosial. Sebaliknya, perilaku yang secara etika bermasalah selama tersembunyi rapi atau dibungkus narasi privasi sering kali dibiarkan berlalu tanpa koreksi berarti. Moralitas pun bergeser dari nilai ke rasa, dari kebenaran ke kenyamanan.

Baca  Akselerasi Inovasi Daerah, Kunci Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan di Kaltim dan Kaltara

Pada titik ini, framing publik menjadi kekuatan dominan. Tabayun dikalahkan oleh viralitas, dan nalar dikalahkan oleh emosi kolektif. Penghakiman dilakukan bukan untuk menegakkan keadilan, melainkan untuk memuaskan rasa benar semu. Akibatnya, standar etika menjadi cair dan inkonsisten: keras terhadap yang jujur, lunak kepada yang pandai bersembunyi.

Islam, sebagai sistem nilai, sejatinya hadir dengan pendekatan yang realistis terhadap manusia. Ia tidak menafikan fitrah, tetapi juga tidak membiarkannya tanpa kendali. Islam tidak menuntut manusia menjadi malaikat, namun juga tidak mengizinkannya hidup tanpa batas. Jalan yang dibukakan agama selalu disertai syarat: kemampuan yang diikat oleh tanggung jawab dan kebolehan yang dikawal oleh keadilan.

Sayangnya, jalan yang menuntut tanggung jawab inilah yang kini kerap disalahpahami. Yang halal tetapi berat dipandang lebih buruk daripada yang keliru tetapi terasa ringan. Dari sini lahir ungkapan-ungkapan sosial yang terdengar sederhana, bahkan jenaka, seperti “lebih baik beli sate daripada membawa kambingnya pulang”. Ungkapan ini bukan sekadar guyonan domestik, melainkan metafora cara berpikir: ingin menikmati tanpa memikul beban, menginginkan rasa tanpa komitmen, dan merasa aman dari tuntutan moral.

Ungkapan semacam itu diterima luas, terutama oleh mereka yang bertopeng, bukan karena ia benar secara etika, melainkan karena menawarkan jalan pintas. Ia membebaskan individu dari konsekuensi, kejujuran, dan tanggung jawab jangka panjang. Di sinilah krisis etika publik tampak nyata: ketika penghindaran tanggung jawab dinormalisasi, sementara komitmen justru dipandang sebagai beban sosial.

Baca  Seberapa Penting Peranan IPK dan Leadership bagi Lulusan Mahasiswa?

Padahal, jika menengok sejarah, persoalan relasi dan moralitas tidak dapat dilepaskan dari konteks peradaban. Tradisi kepemimpinan pra-Islam baik di Timur maupun Barat dipenuhi praktik poligami tak terbatas dan kepemilikan selir tanpa perlindungan hak. Perempuan diperlakukan sebagai simbol kekuasaan, bukan sebagai subjek bermartabat. Islam datang bukan untuk melanggengkan tradisi tersebut, melainkan mengoreksinya secara mendasar. Pembatasan jumlah istri hingga empat, disertai syarat keadilan yang berat dan peringatan keras tentang ketidakmampuan manusia untuk sepenuhnya adil, merupakan langkah korektif peradaban. Relasi digeser dari dominasi menuju amanah, dari hasrat menuju tanggung jawab.

Karena itu, memahami ketentuan ini semata-mata sebagai persoalan nafsu merupakan kekeliruan epistemik. Yang ditekankan Islam bukan kuantitas, melainkan keadilan; bukan pemuasan, melainkan pengelolaan amanah; bukan kebebasan tanpa batas, melainkan ketaatan pada koridor syariat. Jalan yang halal bukanlah jalan termudah, melainkan jalan yang paling bertanggung jawab.

Namun dalam budaya citra, yang berat kerap dikorbankan demi yang terasa ringan. Agama direduksi menjadi simbol kesalehan, bukan sebagai sistem nilai. Akibatnya, ruang publik lebih sibuk mengatur tampilan moral daripada menegakkan keadilan substantif. Kita tampak bermoral, tetapi enggan menanggung konsekuensi moral itu sendiri.

Dari sudut pandang religius-filosofis, kegaduhan ini mencerminkan krisis tartib al-qiyam, yakni kekacauan dalam penataan nilai. Ketika persepsi mengalahkan prinsip dan framing menutup kebenaran, akal kehilangan bimbingan, sementara nafsu memperoleh legitimasi sosial. Al-Ghazali mengingatkan bahwa akal tanpa wahyu mudah terseret syubhat, dan wahyu tanpa akal yang jujur mudah direduksi menjadi simbol. Ibn Qayyim menegaskan bahwa keadilan adalah timbangan Allah di bumi; ke mana keadilan condong, di sanalah ruh syariat bersemayam. Asy-Syatibi merumuskan bahwa tujuan syariat adalah menjaga kemaslahatan manusia, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta bukan menuruti selera sesaat.

Baca  Bukan Sekedar Penjual Obat: Peran Apoteker dalam Pelayanan Kesehatan

Karena itu, moral tidak diukur oleh sorak mayoritas, melainkan oleh kesesuaiannya dengan hikmah, keadilan, dan kemaslahatan. Barangkali yang kita perlukan hari ini bukan standar baru, melainkan keberanian untuk menata kembali batin dan nalar: menundukkan nafsu, memuliakan akal dengan wahyu, serta menempatkan syariat sebagai jalan tengah yang adil. Di sanalah iman berfungsi bukan sebagai topeng sosial, melainkan sebagai kompas hidup yang membimbing, membatasi, dan pada akhirnya membebaskan manusia dari tirani citra dan hawa nafsu.

Semoga Allah membimbing dan menyadarkan kita semua, serta siapa pun yang bersalah, untuk kembali kepada kesadaran wahyu.

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi editorialkaltim.com

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Follow instagram “editorialkaltim”, caranya klik link https://www.instagram.com/editorialkaltimcom/ untuk mendapatkan informasi terkini lainnya.

Related Articles

Back to top button