Opini

Berpendidikan Tinggi Kok Korupsi?

Ditulis oleh: Rifkal Artha Yuda

Berpendidikan tinggi kok masih bisa korupsi? Kalimat tersebut menjadi pertanyaan yang akan penulis coba uraikan dalam tulisan ini mengapa orang berpendidikan tinggi masih bisa korupsi. Untuk definisinya sendiri, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi adalah tindakan atau perbuatan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara. Melihat definisi tersebut, penulis dapat simpulkan bahwa korupsi merupakan tindakan kejahatan yang bisa menjatuhkan martabat maupun perekonomian bangsa. 

Menurut penulis, korupsi lahir dari ketidakpuasan maupun kesempatan yang ada, mengapa penulis bilang seperti itu, memang pada dasarnya manusia itu berproses dan hal-hal wajar saja jika sudah mendapatkan sesuatu yang diinginkan, kemudian ada hal lain lagi yang ingin dicapai, tentunya hal tersebut perlu dibarengi dengan rasa syukur agar kemudian semua berjalan dengan baik tanpa merugikan diri sendiri maupun orang lain.

Pada konteks ini, ketidakpuasan lahir karena tidak dibarengi dengan rasa syukur, ditambah lagi dengan faktor kompetisi yang di mana saat melihat orang lain menampakan kekayaan serta keglamorannya, dari situlah timbul kecemburuan sosial sehingga menghalalkan segala cara untuk mencoba menjadi pesaing agar terlihat lebih baik dari segi finansial.

Lalu yang kedua, yaitu karena ada kesempatan, terkadang, orang mencuri itu tidak semua diawali dari niat dan perencanaan yang terstruktur, tetapi ada beberapa kejadian yang memang semua terjadi karena adanya kesempatan. Dalam hal ini, koruptor melakukannya karena bukan dari niat awal, tetapi adanya kesempatan untuk korupsi, hal ini terjadi karena merasa adanya kekuasaan yang dimiliki.

Indonesia sendiri, dilansir dari media kompas.com, hingga juni 2022, tercatat sejumlah upaya penanganan tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh KPK yang di mana terjalankannya 66 penyelidikan, 60 penyidikan, 71 penuntutan, 59 perkara inkracht hingga eksekusi putusan hingga 51 perkaka. Tentunya data tersebut menunjukkan bahwa pelaku tindak pidana korupsi tidak hanya segelintir orang saja melainkan dapat dibilang bisa menjadi sebuah komunitas yang buruk bagi bangs aini.

Baca  Alat Peraga Sosialisasi Vs Alat Peraga Kampanye

Melihat penyampaian sebelumnya, salah satu hal untuk melakukan korupsi karena adanya kekuasaan yang dimiliki. Jelas, sesuai definisi korupsi yaitu merupakan penyalahgunaan uang negara dan uang negara hanya dapat dioperasikan oleh orang yang memiliki jabatan untuk mengurusi negara. Pejabat yang termasuk di skala nasional hingga kecamatan sekalipun, dapat melakukan korupsi dan hal ini menjadi penyakit yang hingga saat ini masih belum terselesaikan.

Hingga saat ini dari semua kasus korupsi, Sebagian besar dilakukan oleh orang yang memiliki jabatan tinggi dan berpendidikan tinggi pula. Penulis ambil contoh yaitu salah satu kasus yang sangat disayangkan terjadi yang di mana hal ini dilakukan oleh Menteri Sosial, Juliari P Batubata. Mengapa penulis menuliskan sangat disayangkan, karena korupsi yang dilakukan oleh pejabat tersebut yaitu dilakukan pada saat Indonesia dilanda wabah Covid-19.

Dalam hal ini, Indonesia sedang tidak baik-baik saja, kebutuhan akan keamanan, kenyamanan hingga pemenuhan pakan pun sangat di tunggu-tunggu oleh masyarakat. Menteri sosial yang pada saat itu memiliki peran penting untuk mengelola keuangan negara khusus di bidang sosial lalu kemudian dialokasikan kepada masyarakat yang membutuhkan guna membantu dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Alih-alih terealisasikan, justru pejabat tersebut melakukan korupsi yang jumlahnya tidak kecil, disinyalir menerima 32,2 miliar. Menurut penulis sangat disayangkan sekali, Menteri Sosial yang seyogyanya dapat berempati dan bersimpati terhadap beban rakyat justru melakukan kejahatan yang merugikan rakyat. 

Baca  DPR Usul UKT Bisa Dicicil, Minta Revisi Permen Ristek Soal Biaya Pendidikan

Merefleksikan hal tersebut dan kasus-kasus lainnya, sesuai dengan judul, yang menjadi pertanyaan, mengapa orang berpendidikan tinggi melakukan korupsi. Mungkin pertanyaan tersebut menjadi polemik di masyarakat, yang dimana hemat pemikiran, orang berpendidikan pastinya melalui proses panjang yang membentuk karakter terkhusus belajar menjadi pribadi yang lebih baik.

Pendidikan formal tidak hanya diajarkan tentang bagaimana untuk menjadi pintar, tetapi lebih daripada itu, Pendidikan mengemas agar manusia bersikap baik dan bijak dalam bertindak. Tetapi semua ini tentunya Kembali pada masing-masing orang lagi apakah dapat menerapkan pelajaran yang telah didapatkan atau tidak.

Narasi di atas mungkin menjadi pertanyaan yang kemudian mencoba menjawab dengan rasional masing-masing. Dalam hal ini penulis mencoba menjelaskan tidak hanya menggunakan asumsi semata melainkan berlandaskan teori yang ada. Teori yang digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut yaitu hierarki DIKW yang di mana dalam hierarki ini terdapat 4 tingkatan.

Tingkatan paling dasar yaitu ditempati oleh data, lalu tingkat kedua ada informasi, tingkat ketiga pengetahuan dan dipuncak ada kebijaksanaan. Dalam hal ini orang yang telah mengenyam pendidikan Sebagian besar hanya menekankan pada aspek pengetahuan saja.

Misalnya gini, dari 4  hal tersebut penulis coba analogikan seperti ini, ada 6 buah donat di meja, itu termasuk data karena bersifat jumlah yang ada, kemudian sebut saja Yuda memakan 3 donatnya yang kemudian menjadi sebuah informasi karena ada proses perbuatan yang menjadikan sebuah informasi, lalu muncul pertanyaan, berapakah sisa donat yang ada di meja? Pertanyaan tersebutlah yang kemudian menjadi analogi hierarki ketiga karena dibutuhkan pengetahuan untuk menjawabnya.

Baca  Milad ke 25 Tahun: Dedikasi KAMMI Rawat Kedaulatan Kaltimtara

Kita sama-sama sepakat bahwa menjawab sisa donatnya adalah 3, tetapi lebih dari itu pengetahuan kita tak terhenti pada jawaban itu saja melainkan perlu ada pertanyaan lebih radikal lagi seperti donat siapakah yang yuda makan, jangan-jangan yuda mengambil punya orang lain nah ketika Yuda bukan memakan miliknya, berarti dia tidak sampai pada tahap kebijaksanaan. Kebijaksanaan yaitu ketika seseorang tidak hanya memahami pengetahuan saja tetapi dapat menerapkan perilaku yang bijak sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki.

Analogi singkat di atas dapat penulis simpulkan bahwa Pendidikan tinggi tidak menjamin orang dapat berbuat hal yang naik, karena mereka hanya fokus pada pengetahuan saja dan tidak dapat mengejawantahkan aspek kebijaksanaan. Kebijaksanaan tidak semerta merta hanya didapatkan dibangku Pendidikan saja, melainkan perlu melalui proses yang cukup panjang. Tentu dari hal tersebut, penulis juga tidak menjustifikasi bahwa orang berpendidikan tinggi pasti korupsi, tetapi konteks dalam tulisan ini yaitu untuk menjawab pertanyaan mengapa orang berpendidikan tinggi masih bisa korupsi.

Demikian opini yang dapat penulis uraikan, semoga dapat bermanfaat untuk kita semua dan harapannya korupsi di Indonesia tidak terjadi lagi. (*)

(*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi editorialkaltim.com

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Mari bergabung di Grup Telegram “editorialkaltim”, caranya klik link, https://t.me/editorialkaltimcom kemudian join. Anda harus mengistal Telegram terlebih dahulu di ponsel.

Related Articles

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker