Dosen Terasa Buruh
Oleh: Alias Candra, Dosen Tetap Non PNS UINSI Samarinda
Kita masih ingat peristiwa pada tahun 1945, saat perang Perang Dunia II berlangsung, AS dan sekutunya menjatuhkan bom atom berkekuatan dahsyat di kota Hiroshima dan Nagasaki. Kerugian yang dialami Jepang begitu besar, tidak hanya secara materi, jumlah nyawa yang melayang akibat bom atom inipun terbilang sangat besar. Imbasnya, Jepang mengalami kelumpuhan total, yang akhirnya membawa negara tersebut pada kekalahan telak dari sekutu.
Ketika mendengar berita pemboman tersebut, Kaisar Hirohito selaku pemimpin tertinggi Jepang pada saat itu langsung mengumpulkan para Jenderal yang tersisa. Pertanyaan mengenai jumlah guru (tenaga pendidik) munkin termasuk dosen didalamnya yang tersisa ini lantas membuat bingung para Jenderal. Sebab, semula mereka mengira sang Kaisar akan menanyakan perihal tentara, tetapi malah lain yang ditanyakan. Kaisar Hirohito mengatakan bahwa Jepang telah jatuh.
Kejatuhan ini dikarenakan mereka tidak belajar. Jenderal dan tentara Jepang boleh jadi kuat dalam senjata dan strategi perang, tetapi tidak memiliki pengetahuan mengenai bom yang telah dijatuhkan Amerika. Kaisar Hirohito kemudian menambahkan bahwa Jepang tidak akan bisa mengejar Amerika jika tidak belajar.
Karenanya, ia kemudian mengimbau pada para Jenderalnya untuk mengumpulkan seluruh tenaga pendidik (dosen dan guru) yang tersisa di seluruh pelosok Jepang. Sebab, kepada para merekalah seluruh rakyat Jepang kini harus bertumpu, bukan pada kekuatan pasukan. Kehadiran tenaga pendidik dan memperhatikan kehidupan ekonominya menjadi hal yang krusial diseluruh lapisan masyarakat Indonesia. Karenanya, kita bisa bangkit dari keperpurukan dan kebodohan.
Musibah Pendidikan
Harus diakui, faktanya pencapaian dunia pendidikan di Indonesia saat ini dianggap belum dapat mencapai titik keberhasilan yang diharapkan bersama. Permasalahan yang dihadapi oleh dunia pendidikan Indonesia begitu banyak dan rumit sehingga solusi yang dilakukan untuk keluar dari permasalahan tersebut tidaklah mudah.
Permasalahan yang tidak kalah penting yaitu menyangkut masalah tidak diakomodirnya dosen yang sudah mengabdi puluhan tahun menjadi ASN atau PPPK. Maksud hati ingin sekali kami mengurai benang kusut kemiskinan dengan menginvestasikan waku untuk mengajarkan anak- anak meraih pendidikan dan kelak akan bisa menjelma menjadi “Nabi Nuh” dan mengangkutnya dengan kapal kesejahteraan hidup lebih baik.
Akan tetapi, lagi-lagi impian itu seakan hanya bisa menabrak dinding-dinding rumah sempitnya seiring tingginya passing grade yang menjadi ukuran diterima seseorang menjadi ASN/ PPPK. Hanya bisa meratap kosong sambil sesekali mencoba tetap mengajar walaupun belum jelasnya nasib kami para dosen non ASN, dengan segala risikonya mengencangkan perut sekencang-kencangnya.
Begitulah kiranya tayangan “sinetron” kebanyakan kami para dosen non ASN menjelang ada regulasi yang berpihak kepada dosen non ASN. Meminjam istilah Muammar Khadafi ketua dosen tetap non ASN UIN Suska Riau,”Kami adalah Cendikiawan yang tertindas”
Ini juga masih asumsi semoga salah. Karna kami tidak ada pegangan soal tidak adanya PHK massal, bertahap, atau terselubung ini. Sebab, kami mendengar di akhir tahun 2023 tidak ada lagi anggaran untuk tenaga non-PNS. Artinya, kan, kalau tidak ada anggaran, berarti para dosen dan tendik tidak bisa digaji. Ini sama saja cara terselubung mem-PHK kami.
Melalui tulisan ini kami juga menuntut pemerintah melalui Kemen PAN dan RB, Badan Kepegawaian Negara, Kementerian Agama, dan Kemendikbudristek untuk menyelesaikan pengangkatan seluruh dosen tetap bukan PNS dan tendik non-PNS di lingkungan PTN menjadi ASN sebelum 28 November 2023. Selain itu, mendesak pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan revisi RUU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang ASN menjadi undang-undang.
Defisit Dosen
Sebetulnya tidak ada alasan mengangkat dosen tetap non ASN menjadi ASN/ PPPK tampa test, karna salah satu masalah yang sering diperbincangkan berkaitan dengan dunia pendidikan tinggi kita adalah jumlah dosen. Rasio jumlah dosen terhadap jumlah mahasiswa kita masih terlalu kecil, masih kurang dari 10 persen. Seperti dikemukakan Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Ali Ghufron, jumlah dosen sekitar 260.000. Dengan jumlah program studi (prodi) yang mencapai 22.000 untuk seluruh Indonesia. Dengan asumsi satu prodi mempunyai enam dosen. Kita kekurangan jumlah dosen.
Benarkah jumlah dosen menjadi indikator penting sebuah perguruan tinggi? Memang harus diakui dari sisi jumlah, dosen kita jauh di bawah negara tetangga, Malaysia. Mereka mempunyai sekitar 29.350 dosen. Jika dibandingkan jumlah penduduk, dosen per kapita kita jauh di bawah Malaysia, meskipun terjadi peningkatan jumlah cukup signifikan sejak 2015, dari 4.700 orang menjadi 5.389 orang pada 2017.
Keresahan akan minimnya jumlah dosen sesungguhnya identik dengan keresahan dengan jumlah karya ilmiah yang dihasilkan karena dosen dianggap identik dengan produsen karya-karya ilmiah atau produk akademik yang lain. Akan tetapi, benarkah jumlah dosen merupakan indikator yang penting bagi sebuah perguruan tinggi?
Pemerintah sebaiknya menambah rasio dosen (yang non asn menjadi asn atau pppk) setidaknya yang sudah mengabdi puluhan tahun, sehingga dosen akan berkonsentrasi pada Tri Dharma perguruan tinggi serta menjadi jembatan yang indah antara mahasiswa dengan masa depanya. (*)
(*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi editorialkaltim.com.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Mari bergabung di Grup Telegram “editorialkaltim”, caranya klik link, https://t.me/editorialkaltimcom kemudian join. Anda harus mengistal Telegram terlebih dahulu di ponsel.