Urgensi Sanitarian Di Dapur Program Makan Bergizi Gratis

Gratis. Satu kata yang memiliki daya tarik politik yang sangat kuat. Kata ini tak hanya ramai digunakan dalam kampanye Presiden, tetapi juga dalam kampanye calon Gubernur Kaltim. “Gratis” dielu-elukan sebagai semangat untuk memberikan akses yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat, baik di bidang kesehatan, pendidikan, maupun penyediaan makanan.
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan salah satu ikhtiar pemerintah untuk memperbaiki status gizi, menurunkan angka stunting, dan meningkatkan prestasi anak-anak sekolah. Intervensi ini digadang-gadang sebagai bentuk investasi jangka panjang dalam membangun kualitas generasi penerus bangsa.
Namun, dalam perjalanannya, MBG menghadapi berbagai tantangan. Sebut saja kasus keracunan makanan, mitra yang belum dibayar, hingga potensi korupsi dalam pelaksanaan program. Catatan-catatan tersebut dihadapi dengan berani oleh Badan Gizi Nasional (BGN), yang berupaya mencari solusi terbaik untuk program yang masih baru, besar, dan terus dipertanyakan dampak nyatanya.
Namun dalam tulisan ini, kita akan lebih fokus pada isu keamanan pangan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan bahwa keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, sehingga aman untuk dikonsumsi.
Dalam pelaksanaan MBG, hingga Mei 2025, tercatat 17 kasus keracunan makanan di sepuluh provinsi. Data ini menjadi salah satu materi pidato Presiden Prabowo yang menyebut bahwa jumlahnya sangat kecil—hanya nol koma sekian persen. Hal ini dianggap sebagai bukti bahwa program cukup berhasil. Namun klaim tersebut menuai pro dan kontra. Banyak pihak menyatakan bahwa nyawa anak-anak tidak bisa disederhanakan menjadi sekadar angka di atas kertas. Pemerintah seharusnya menyampaikan permintaan maaf dan menyusun rencana perbaikan serta mitigasi yang transparan kepada publik agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Dalam pelaksanaan MBG, dibentuklah Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur MBG. Satuan ini dikelola oleh tiga pegawai dari BGN, terdiri dari Kepala SPPG, ahli gizi, dan akuntan. Terlihat lengkap dan cukup baik, bukan? Tapi benarkah demikian? Ada ahli gizi yang menangani aspek gizi, akuntan yang mengelola keuangan, dan kepala SPPG yang mengawasi operasional. Namun, siapa yang memastikan keamanan pangan dari 3.000 porsi yang diproduksi setiap hari?
Pemerintah sepertinya lupa bahwa ada satu jenis tenaga kesehatan dengan spesialisasi kompetensi di bidang pengawasan pangan, yaitu Sanitarian. Siapa mereka? Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pekerjaan Tenaga Sanitarian, disebutkan bahwa Sanitarian adalah tenaga kesehatan yang telah lulus pendidikan di bidang kesehatan lingkungan. Pasal 13 dan 14 menyatakan bahwa ruang lingkup pekerjaan Sanitarian mencakup pengelolaan makanan yang terkontaminasi, termasuk:
a. Pemeriksaan kualitas fisik, kimia, mikrobiologi, dan parasitologi;
b. Perlindungan kesehatan masyarakat dari pencemaran atau pajanan unsur berbahaya dalam proses pengelolaan makanan;
c. Penggerakan masyarakat dalam pengelolaan makanan dan minuman yang aman.
Sanitarian adalah satu-satunya tenaga kesehatan dengan spesialisasi dalam pengawasan keamanan pangan siap saji. Namun sayangnya, mereka tidak diwajibkan hadir di Dapur MBG (SPPG).
Mengapa keterlibatan Sanitarian dalam produksi pangan siap saji skala besar bisa terabaikan? Terlebih oleh pemerintah sendiri, padahal sebagian besar Sanitarian bekerja di sektor publik. Apakah pengawasan keamanan pangan dianggap kurang penting dibandingkan pengelolaan gizi? Ataukah keamanan pangan dianggap sebagai bagian kecil yang bisa diabaikan? Padahal, dalam produksi pangan siap saji, keamanan pangan justru harus didahulukan daripada aspek gizi. Aman, bergizi, dan bermutu—itulah urutan prioritas yang seharusnya diterapkan.
Dalam diskusi saya dengan seorang epidemiolog kesehatan, kami menyoroti pengelolaan keamanan pangan yang dilimpahkan ke Sanitarian di puskesmas. Saat terjadi kasus keracunan, SPPG diminta memberi notifikasi kepada puskesmas dan dinas kesehatan. Yang perlu diingat, keracunan makanan adalah peristiwa di hilir, bukan di hulu. Jika keamanan pangan tidak diawasi secara profesional sejak awal, lalu mengapa kita hanya mewajibkan ahli gizi berada di dapur MBG dan tidak dengan Sanitarian?
Ada beberapa hal yang menjadi catatan kami mengenai keberadaan tenaga profesional di SPPG. Dalam rekrutmen Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) yang kemudian mengelola dapur MBG perlu disediakan alokasi khusus bagi lulusan kesehatan lingkungan atau sanitasi lingkungan, seperti halnya tenaga gizi. Dengan demikian, dapur MBG akan memiliki empat tenaga ahli inti. Alternatif lainnya, Sanitarian dan ahli gizi dapat diberi tugas tambahan sebagai kepala SPPG, bila BGN mengalami keterbatasan anggaran untuk menambah SDM.
Selain itu, penguatan kapasitas Sanitarian, epidemiolog, dan petugas puskesmas sangat penting dalam merespons dan memitigasi risiko keamanan pangan dalam produksi MBG. Dalam konteks pangan, kita tidak bisa berkata: “Hari ini aman, berarti besok juga aman.” Produksi pangan siap saji memiliki keunikan tersendiri—setiap hari adalah risiko baru yang harus dikendalikan.
Makanan bergizi adalah hak setiap anak. Namun, makanan bergizi belum tentu aman jika disiapkan tanpa pengawasan yang tepat. Dalam program MBG, kualitas makanan tidak hanya dilihat dari kandungan gizinya, tetapi juga dari keamanan dan kebersihannya. Tanpa pengawasan sanitasi yang ketat, dapur MBG bisa menjadi bumerang bagi kesehatan anak-anak, termasuk anak-anak dengan gangguan gizi atau ibu hamil.
Sanitarian adalah ujung tombak penjaga mutu, kualitas, dan keamanan makanan. Sudah saatnya pemerintah mengakui peran strategis ini dan melibatkan mereka secara sistematis dalam program MBG. Karena pada akhirnya, sanitasi yang buruk bisa menghapus seluruh manfaat dari gizi terbaik. Dan kita semua tentu tak ingin itu terjadi dalam program sebesar ini, program yang dibiayai dari pajak seluruh rakyat Indonesia.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi editorialkaltim.com
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Follow instagram “editorialkaltim”, caranya klik link https://www.instagram.com/editorialkaltimcom/ untuk mendapatkan informasi terkini lainnya.