Melihat Kondisi Buruh Perkebunan Kelapa Sawit Lewat Buku Hidup Bersama Raksasa
Manusia dan Pendudukan Perkebunan Sawit
Penulis: Andreas Ongko Wijaya Hului dan Muhammad Fahran Nashiri (Mahasiswa Universitas Mulawarman).
Bagaimana dengan kondisi kehidupan buruh perkebunan kelapa sawit di negara kita? sejahtera atau nelangsa kah mereka? Pertanyaan ini barangkali dapat menggugah keingintahuan secara mendalam mengenai kondisi buruh yang bekerja di perkebunan kelapa sawit di negara kita. Lewat satu buku ini kita akan sama-sama diperlihatkan mengenai kondisi kehidupan dari para buruh tersebut.
Buku yang ditulis oleh Tania Murray Li dan Pujo Semedi ini dalam versi Bahasa Inggrisnya berjudul Plantation Life: Corporate Occupation in Oil Palm Zone, dan versi Bahasa Indonesianya berjudul Hidup Bersama Raksasa: Manusia dan Pendudukan Perkebunan Sawit terbitan Marjin Kiri Tahun 2022. Penelitian buku ini dilaksanakan dalam rentang waktu tahun 2010-2015, di dua perkebunan kelapa sawit di Tanjung, Kecamatan Sanggau, Kalimantan Barat. Natco dan Priva merupakan masing-masing perkebunan yang dimiliki oleh negara dan swasta, memiliki konsesi lahan sebesar 5.000 hektar dan 39.000 hektar. Wilayah yang diduduki oleh Natco dan Priva ini dihuni oleh mayoritas masyarakat Melayu dan Dayak.
Dalam prakata awal buku, kedua Ilmuwan di bidang Antropologi ini menggambarkan bahwa perkebunan adalah sebuah raksasa, Pujo Semedi dalam penggambarannya memperlihatkan bahwa raksasa itu merupakan “raksasa yang tidak efisien dan malas, ia banyak makan ruang dan ceroboh, bikin hancur dan rusak yang ada disekitarnya, raksasa ini juga bisa menginjak-injak, memakan, mengunyah, dan menyesap daya hidup kita lantas dimuntahkan bagai sepah kering”. Sementara Tania Murray Li menggambarkan bahwa perkebunan merupakan “mesin yang menggalang tanah, tenaga kerja, dan modal dalam jumlah besar untuk budidaya tunggal yang dijual ke pasar dunia”. Dalam penelitian yang dilakukan menunjukkan Indonesia memproduksi 50 persen pasokan minyak sawit dunia, dan sekitar 60 persen dari hasil produksi tersebut di ekspor ke India untuk menjadi minyak goreng terjangkau. Minyak sawit yang dihasilkan telah menjadi keuntungan yang luar biasa bagi korporasi perkebunan kelapa sawit dan dalam kondisi tersebut memaksa lima belas juta orang untuk hidup bersama raksasa.
Guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi kehadiran korporasi menjadi bagian dalam peningkatan kesejahteraan, namun dalam sistem ekonomi dunia yang cenderung bersifat kapitalisme kehadiran korporasi justru dapat menjadi sebuah maslahat umum dan menempatkan suatu kelompok masyarakat dalam kondisi yang rentan. Dalam menjawab persoalan tersebut dibutuhkan suatu regulasi atau aturan yang mengatur, undang-undang di Indonesia secara langsung telah mendelegasikan kedaulatan pada perusahaan perkebunan. Melalui dasar hukum UU Penanaman Modal tahun 2007, dan UU Perkebunan No.39 tahun 2014, menunjukan bahwa perkebunan berperan penting dan memiliki potensi besar dalam pembangunan perekonomian nasional. Di Indonesia korporasi perkebunan mendapatkan banyak hak istimewa, melalui undang-undang korporasi perkebunan dapat mengakses lahan melalui subsidi, kredit, dana talangan, serta perlindungan kesejahteraan perusahaan yang membebaskan korporasi untuk beroperasi secara efisien dan melakukan monopoli pasar.
Pemerintah Indonesia dalam memfokuskan strategi pembangunan nasional pada 2020 mengeluarkan RUU Cipta Kerja yang kemudian di waktu belakangan ini disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang, mendapatkan banyak protes publik karena lebih berpihak kepada sekelompok elit, atau investor, dan akan semakin meningkatkan kesenjangan atau maldistribusi kemakmuran di Indonesia.
Kehidupan Buruh Perkebunan Kelapa Sawit di Natco dan Priva
Seperti pertanyaan yang diungkapkan diawal bagaimana kondisi kehidupan buruh perkebunan kelapa sawit di negara kita, khususnya buruh perkebunan yang bekerja di perusahaan Natco dan Priva, dua perusahaan perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh negara dan swasta di Tanjung, Kecamatan Sanggau, Kalimantan Barat.
Masyarakat luas barangkali sudah tahu benar akan cara kerja perusahaan perkebunan yang ada di Indonesia, perusahaan juga biasanya didukung oleh pejabat dan politisi di setiap tingkat pemerintahan yang ditugaskan secara resmi dan mereka juga menikmati uang haram bagi kepentingan pribadi untuk memuluskan kerja perusahaan, tetapi pada akhirnya semua menjadi masalah internal pemegang kuasa yang mengawasi organ-organ pemerintahannya sendiri. Perusahaan perkebunan di Indonesia juga memonopoli tanah dan air, mereka memperkosa hutan dan menyemprotkan racun kimia, menjerat buruh petani kontrak dengan utang, dan menyingkirkan manusia serta spesies yang tidak berguna bagi kepentingan mereka.
Hal demikian juga terjadi di Tanjung, di mana perusahaan menggusur mantan pemilik tanah dan menelantarkan buruh pekerja tua yang sakit tanpa mata pencaharian, perusahaan hanya memanfaatkan tenaga dari buruh tersebut, dan di kemudian hari apabila perusahaan menganggap bahwa buruhnya tidak berguna lagi maka dapat ditendang keluar semaunya.
Di Tanjung, para manajer perkebunan memilih mana orang dan spesies yang akan dipelihara dalam perusahaan untuk diperas tenaganya dan mana dari buruh yang akan diabaikan. Buruh-buruh yang tidak diinginkan ini kemudian melawan melalui pencurian dan pemerasan sebagai jalan untuk mengambil bagian kecil dari harta perkebunan, para buruh juga berusaha untuk memperluas tanggung jawab moral perusahaan dan bersikeras agar pengorbanan buruh kepada perusahaan diakui dan diberi kompensasi.
Para penduduk desa di Tanjung yang diduduki tanahnya oleh perusahaan dan di kemudian hari menjadi buruh perusahaan akibat tak punya tanah lagi, tidak banyak diberikan hak untuk bersuara dan bahkan sama sekali tidak diberikan hak untuk bersuara dalam perkara ini. Para pemilik lahan yang sekarang beralih menjadi buruh dianggap tidak mampu berdialog dengan pejabat pemberi konsesi lahan perusahaan, atau dengan pejabat perkebunan. Karena mereka dianggap tidak sederajat, bodoh, udik, dan tertinggal.
Dalam istilah kedua penulis juga dikemukakan bahwa perusahaan sebagai bala pendudukan, di bawah pendudukan perusahaan perkebunan, pejabat, politisi, dan pemimpin desa semua menjadi pendukung perusahaan sementara buruh dan masyarakat lokal yang diduduki lahannya oleh perusahaan di paksa untuk berjuang sendiri. Buruh dan masyarakat lokal di Kawasan perkebunan tidak melakukan mobilisasi untuk membubarkan perusahaan, elite lokal berkolaborasi dengan perusahaan dan pada saat yang sama mencuri darinya, dan orang-orang biasa mengambil apa saja yang dapat diambil. Raksasa perusahaan berdiri kokoh namun ia diserbu pencuri dari segala sisi.
Seperti bala pendudukan lainnya, perusahaan perkebunan memberikan janji kemakmuran dan menyediakan fasilitas modern yang membawa masyarakat pada cara hidup yang lebih baik. Namun nyatanya, itu adalah omong kosong belaka yang dihadirkan oleh perusahaan dan realitas di lapangannya mereka merampas kehidupan masyarakat lokal dan buruh, di mana lahan-lahan diperkosa sedemikian rupa dan buruh yang diikat lewat hutang. Modernitas yang dibawa oleh perusahaan hanya dimanfaatkan oleh segelintir orang, beberapa orang menikmati paket lengkap fasilitas modern seperti manajer perkebunan dan sementara yang lain kehilangan akan akses sumber nafkah dasarnya.
Para buruh perkebunan menekankan keinginan mereka mendapatkan upah yang adil, rasa aman, dan dihormati, persoalan daya tawar yang lemah, jaminan kerja, dan perasaan tidak nyaman sehubungan dengan sistem mafia yang memaksa keterlibatan para buruh. Natco dan Priva memiliki rezim tenaga kerja yang berbeda baik itu cara merekrut, memberi penghargaan, dan mempertahankan pekerja. Tetapi jenis pekerjaan dan hierarki organisasi di kedua perkebunan itu sama.
Di seluruh Indonesia, begitu perusahaan perkebunan mendapatkan akses ke sumber tenaga kerja melimpah di wilayah terdekat berdirinya perusahaan, maka perusahaan akan mengurangi karyawan tetap dan menambah porsi pekerja lepas. Hal ini, berlangsung di Tanjung sejak tahun 2005, dengan banyak tenaga kerja maka para manajer di Natco dan Priva tidak perlu lagi merasa perlu membuat buruh betah, dan buruh perkebunan di kedua perusahaan tidak memiliki serikat buruh untuk melindungi kepentingan mereka atau melakukan gerakan kolektif.
Keserakahan dan salah urus dari pihak manajer perusahaan perkebunan juga berimplikasi pada buruh sehingga menyebabkan kelangsungan hidup dari para buruh terancam, dengan demikian para buruh yang bekerja setengah mati jarang mendapatkan bonus tahunan yang merupakan hak mereka. Penghisapan rutin upah kerja buruh oleh perusahaan dalam bentuk laba dan gaji atau bonus yang lebih besar diterima oleh manajer daripada buruh membuat kian tercekik.
Absennya serikat buruh merupakan ciri konstitutif kehidupan perkebunan di Tanjung dan berperan besar dalam pelaksanaan dan evaluasi kerja di kalangan para buruh. Hubungan perburuhan dibentuk oleh ideologi kekeluargaan ala Orba, sebuah teknologi politik yang sengaja dirancang untuk menjauhkan pekerja dari perjuangan terorganisir berdasarkan solidaritas kelas dan menciptakan kesetiaan buruh kepada perusahaan yang digambarkan sebagai keluarga.
Kini perusahaan perkebunan kelapa sawit sudah hampir mencakup segala ruang kehidupan kita, narasi yang dihadirkan oleh para pendukungnya dibuat untuk meyakinkan bahwa perusahaan perkebunan menghadirkan kesejahteraan bagi penduduk dan pekerjanya. Menyediakan fasilitas modern yang senyatanya hanya dinikmati oleh segelintir pejabat perusahaan dan kroni-kroninya. Sementara penduduk lokal dan para buruh dibuat merana akibat berbagai kebijakan yang luar biasa mencabut harkat dan martabat mereka sebagai seorang manusia. (*)
(*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi editorialkaltim.com.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Mari bergabung di Grup Telegram “editorialkaltim”, caranya klik link, https://t.me/editorialkaltimcom kemudian join. Anda harus mengistal Telegram terlebih dahulu di ponsel.