Opini

PPN PMSE Siap Diberlakukan Jangan Sampai UMKM Gigit Jari

Researcher dan Analis Kebijakan Pajak dan Ekonomi, Lambang Wiji Imantoro.

Ditulis oleh: Researcher dan Analis Kebijakan Pajak dan Ekonomi, Lambang Wiji Imantoro

Pemerintah tengah berupaya meningkatkan penerimaan negara dengan menerapkan kebijakan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Sejak diberlakukan pada 2020 silam, PPN PMSE mampu meraup setoran pajak yang lumayan besar sekaligus dianggap sebagai basis pajak potensial di masa mendatang.  

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat perolehan PPN PMSE yang disetorkan ke kas negara (Juli-Desember) 2020 sebesar Rp0,73 trilliun, kemudian selama 2021 nilai yang disetorkan mencapai Rp3,9 triliun, dan untuk tahun 2022 mencapai Rp5,51 triliun.

PPN PMSE digadang-gadang sebagai basis pajak potensial rupanya bukanlah isapan jempol belaka. Pasalnya semenjak PPN PMSE jasa digital luar negeri diberlakukan hingga Januari 2023, pemerintah telah mengantongi penerimaan sebesar Rp10,7 triliun. Penerimaannya di 2023 diprediksi naik menjadi Rp7,73 triliun, dengan asumsi adanya kenaikan sekitar 40% dari perolehan PPN PMSE di tahun sebelumnya dan PPN PMSE secara berturut-turut mengalami kenaikan sekitar 40% dari 2021-2022.

Melihat potensi itu, pemerintah melalui DJP akhirnya menargetkan untuk menunjuk marketplace lokal sebagai pemungut pajak untuk tahun ini, sekaligus menyiapkan aturan mengenai kebijakan terkait yang ditargetkan rampung pada Semester 1-2023.

Sudah jadi rahasia umum jika marketplace lokal memiliki potensi besar dalam mendulang penerimaan pajak. Sepanjang kuartal 1-2022 saja Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mencatat, nilai transaksi e-commerce di Indonesia baik domestik maupun luar negeri mencapai Rp108,54 triliun. Sebagai catatan hingga Februari 2023 terdapat 143 pelaku usaha PMSE asing yang telah ditunjuk menjadi pemungut PPN.

Bila menilik besarnya perputaran nilai transaksi pada sektor e-commerce lokal yang terbayangkan dalam benak publik, tentu akan berbanding lurus dengan potensi penerimaan pajak yang dapat disetorkan ke kas negara. Namun, apakah kebijakan ini akan semulus dan utopis yang diharapkan?

Baca  Masa Depan Keamanan Pangan Siap Saji

Secara langsung sesuai aturan Peraturan Menteri Keuangan No. 60/PMK.03/2022, pelaku usaha PMSE yang ditunjuk wajib memungut PPN dengan tarif 11% atas produk asing yang dijualnya di Indonesia. Besarnya tarif yang dibebankan pada konsumen akan berdampak pada kenaikan harga yang harus dibayarkan konsumen. 

Skenario terburuk yang paling memungkinkan ialah banyak marketplace atau industri e-commerce lokal mengalami kelesuan imbas dari penerapan PPN PMSE. Akibatnya, potensi peralihan pola dan perilaku konsumsi masyarakat dari yang terbiasa berbelanja secara online di marketplace lokal, akan mulai meninggalkan marketplace lokal dan berbondong-bondong menyerbu marketplace asing sebagai alternatif. Bahkan bukan tidak mungkin mayoritas masyarakat lebih memilih untuk menahan belanja dan memilih menyimpan uangnya.

Selain itu kemungkinan besar pemerintah tengah mengupayakan skema aturan dengan konsep “Level Playing Field”, atau sederhananya secara konseptual aturan main pajak e-commerce ditujukan untuk menjaga perlakuan yang sama bagi para pelaku usaha baik daring/online maupun luring/offline. Jika skema aturannya demikian, justru nantinya akan menciptakan jurang disparitas dikarenakan sifatnya yang subjektif.

Logikanya adalah semua jenis usaha baik yang setingkat UMKM maupun perusahaan setingkat Hectacorn yang berdagang di e-commerce akan dikenakan kewajiban untuk memungut PPN dengan skema, persyaratan, serta tarif yang sama. Jika demikian maka lagi-lagi masyarakat sektor akar rumput lah yang jadi korban kebijakan.

Di sektor pengusaha, jika tarif dan persyaratan sekaligus skemanya disamaratakan, kemungkinan pengusaha UMKM yang akan dirugikan, pasalnya kebanyakan konsumen mereka datang dari sektor ekonomi menengah kebawah. Belum lagi tingkat kunjungan beserta pembelian pada usaha UMKM sangat jauh jika dibandingkan dengan usaha-usaha setingkat perusahaan yang menyandang status hectacorn.

Baca  Penutupan Bazar UMKM di Sangkulirang Catat Transaksi Tinggi, Bupati: Ini Tumbuhkan Ekonomi Warga

Perusahaan penyandang status Hectacorn juga harus mawas diri, pasalnya mereka juga akan terkena dampak dari pemberlakuan PPN PMSE ini. Masyarakat yang kadung kaget dengan kenaikan tarif belanja mereka yang tiba-tiba efek dari pemberlakuan PPN PMSE, bukan tidak mungkin jika konsumennya juga perlahan lebih memilih untuk menahan diri membelanjakan uangnya di perusahaan mereka. Jika situasinya demikian, tak menutup kemungkinan satu persatu perusahaan e-commerce juga akan merugi.  

Tak hanya berpotensi merugikan startup, kebijakan ini juga bisa menyeret sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam jurang kerugian. Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah mencatat sebanyak 19,5 juta UMKM menjadikan platform online sebagai sarana memasarkan produknya. Jika tarif PPN PMSE dalam penerapannya disamaratakan dan turut menyasar produk-produk UMKM maka merekalah yang paling kelimpungan dalam menjalankan kebijakan ini.

Saat ini penunjukan pemungut PPN PMSE memiliki batasan yang diatur di Pasal 4 Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. Per-12/PJ/2020. Pengusaha dapat ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE jika terpenuhi kriteria berikut, di antaranya (1) nilai transaksi dengan pembeli di Indonesia melebihi Rp600 juta dalam setahun atau Rp50 juta dalam sebulan; dan/atau (2) jumlah traffic atau pengakses di Indonesia melebihi 12.000 dalam setahun atau 1.000 dalam sebulan. Jika skema aturan yang serupa diterapkan untuk PMSE lokal maka tamatlah riwayat pengusaha UMKM lokal yang menjadikan marketplace/e-commerce sebagai sarana pemasaran dan penjualan produknya.

Pembuatan aturan main yang berpihak pada kepentingan pelaku UMKM tak terkecuali konsumen tanpa mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan negara, mutlak menjadi tanggung jawab pemerintah. Pasalnya, jika aturan ini tidak mampu mengakomodir kepentingan pelaku UMKM dan konsumen, akan berakibat pada maraknya pengemplangan pajak yang dilakukan oleh pelaku PMSE yang telah ditunjuk oleh pemerintah.

Baca  Wujudkan Kemandirian Fisikal, BW Minta Pemkot Manfaatkan OPD

Akibat terlalu besarnya beban PPN yang harus dibayarkan oleh konsumen, mengakibatkan masyarakat memilih menahan diri untuk berbelanja, efek instannya pelaku usaha mengalami kerugian, efek dominonya pelaku usaha memilih untuk mengakali jumlah setoran PPN yang harus disetorkan ke negara. Belum lagi potensi badai PHK yang tak kunjung reda tengah menerpa perusahaan e-commerce/marketplace lokal, kebijakan yang keliru justru akan semakin memperburuk keadaan.

Pemerintah boleh belajar dari Tiongkok dalam mengimplementasikan aturan pajak e-commerce. Tiongkok menerapkan nilai pajak untuk suatu barang menggunakan sistem waktu tertentu, artinya pengenaan PPN terhadap barang yang dijual via e-commerce memiliki tarif yang berbeda tergantung jadwalnya. Contohnya, suatu barang akan dikenakan PPN 2% selama sekian tahun, sementara barang jenis lain bisa dikenai PPN 5% dalam sekian periode, yang pada akhirnya seluruh barang ini akan dikenakan nilai PPN 10%.

Pemerintah juga perlu belajar kepada Jepang dalam hal penerapan pajak e-commerce, dimana otoritas perpajakan di Jepang membentuk satuan khusus yang disebut PROTECT. Satuan yang dibentuk di tiap kantor wilayah ini berfungsi untuk “memburu” pelaku usaha e-commerce yang tidak melakukan kewajiban perpajakannya. 

Besarnya potensi penerimaan pajak dari sektor e-commerce memang tak dapat disepelekan. Untuk itu pemerintah wajib untuk memastikan aturan PPN PMSE tepat sasaran, terutama berkeadilan agar mampu mendorong ekosistem e-commerce yang tak hanya ramah bagi pelaku usaha, namun juga ramah untuk konsumen. 

(*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi editorialkaltim.com

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Mari bergabung di Grup Telegram “editorialkaltim”, caranya klik link, https://t.me/editorialkaltimcom kemudian join. Anda harus mengistal Telegram terlebih dahulu di ponsel.

Related Articles

Back to top button