Safaranita Nur Effendi – Akademisi Ilmu Pemerintahan Universitas Mulawarman
Editorialkaltim.com – Pada 30 Desember 2024, pada pukul 20.11 WITA, berita dari Kompas TV menyoroti pernyataan dari Presiden Prabowo Subianto. Ia bercerita bahwa saat dirinya menjadi Menteri Pertahanan, dia selalu dibatasi oleh Menteri Keuangan.
Namun, setelah menjadi Presiden, dia menyadari bahwa pertahanan penting, tetapi makanan bagi anak-anak lebih penting. Jika kita berbicara tentang mana yang jauh lebih mendesak, program makan gizi gratis atau pajak yang akan naik di awal tahun 2025?
Akhir tahun menjelang 1 Januari 2025, Pemerintah Indonesia menetapkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12%. Apakah langkah preventif ini akan meningkatkan pendapatan negara di Indonesia? Justru kebijakan ini memicu kritik tajam dan protes dari kalangan masyarakat, terutama di Kalimantan Timur.
Siapa yang paling terdampak dengan naiknya PPN 12%? Tentu saja kaum rentan, terutama perempuan dengan pendapatan menengah ke bawah. Sebab, kebijakan terkadang tidak mampu mengukur sejauh mana kesejahteraan ekonomi berbasis gender, khususnya beban ganda yang dialami perempuan yang berpenghasilan rendah atau jumlah upah yang diterima tergolong rendah berbasis gender (Gender Pay Gap).
Penolakan dari Kalangan Mahasiswa serta Aliansi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur
Aksi ini dilakukan masyarakat Kalimantan Timur yang kecewa dengan kebijakan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait pemberlakuan PPN 12%.
Kebijakan ini dianggap tidak sesuai dengan kondisi ekonomi yang sulit dan justru menambah beban masyarakat menengah bawah, terutama perempuan. Salah satu aktivis perempuan pendemo membawa tulisan berbunyi, “Dimana Bumi Dipijak, Disitu Kami Dipajak.” Tulisan itu mencerminkan rasa keprihatinan mendalam. Hal tersebut tentu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang katanya bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Bagaimana pemerintah bisa menaikkan PPN 12% di tengah kondisi ekonomi yang sulit? Bukannya mendapatkan solusi, kebijakan ini malah menambah beban kerja perempuan yang sudah mengalami ketidakadilan ekonomi.
Perempuan Terdampak di Kalimantan Timur: Korban Utama Kenaikan PPN 12%
Dampak kebijakan ini paling keras dirasakan perempuan di Kalimantan Timur, terutama ibu rumah tangga dan pekerja berpenghasilan rendah.
Penelitian dari Center of Economic and Law Studies (Celios) menunjukkan bahwa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) berdampak besar pada masyarakat golongan ke bawah (miskin). Teori Feminist Economics dari Nancy Folbre menjelaskan bahwa ibu rumah tangga adalah pekerjaan domestik yang tidak berupah sehingga seringkali tidak dianggap memiliki kontribusi ekonomi yang bernilai. Hal ini mengarah pada fenomena yang dikenal sebagai “Unpaid Labor” (Pekerjaan Tak Dibayar), yang sering tidak tercatat dalam Produk Domestik Bruto (PDB) negara.
Namun, peran mereka dalam mengelola anggaran keluarga menjadi ujung tombak dalam keluarga. Hal ini diperkuat oleh Nor Aisyah, warga Kalimantan Timur di Paser, yang merupakan ibu rumah tangga tanpa penghasilan tetap karena hanya bergantung pada pendapatan suaminya yang sebentar lagi pensiun di tahun 2025. Ia mengungkapkan bahwa kenaikan harga barang kebutuhan pokok akan membuatnya harus lebih irit dalam pengeluaran.
Gender Pay Gap Menambah Luka Bagi Perempuan Bekerja
Teori Ketimpangan Gender menyoroti bagaimana struktur sosial dan ekonomi menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan. Dalam konteks pajak, kebijakan ini membebani kelompok berpenghasilan rendah. Mereka yang bergantung pada barang kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu, dan gula konsumsi, harus menghadapi kenaikan harga. Kenaikan PPN 12% pada barang-barang ini menjadi tantangan bagi perempuan yang berjuang menghidupi keluarga, tetapi sulit memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Bagi perempuan di Kalimantan Timur, terutama yang berstatus sebagai ibu rumah tangga atau perempuan pekerja dengan upah rendah, kenaikan harga barang mengurangi daya beli mereka di pasar. Pendapatan yang tidak seimbang dengan kenaikan harga membuat kualitas hidup keluarga semakin menurun, sehingga memunculkan masalah sosial baru.
Ekspektasi dan Realitas: Kebijakan yang Dilematis?
Kebijakan yang buruk memengaruhi ketidaksetaraan yang ada. Seperti dua sisi koin yang bertolak belakang, ekspektasi pemerintah berharap kenaikan PPN 12% dapat meningkatkan pendapatan negara untuk membiayai kebutuhan negara.
Namun, realitasnya, kebijakan ini justru menambah beban baru bagi masyarakat, terutama ibu rumah tangga dan perempuan pekerja. Akhirnya, mereka terjebak dalam lingkaran setan kebijakan yang memperburuk kualitas perekonomian masyarakat menengah ke bawah.
Kesimpulan
Pemerintah perlu mengevaluasi dan merevisi kembali kebijakan ini dengan lebih memperhatikan dampaknya terhadap kelompok-kelompok rentan, terutama perempuan. Langkah ini harus mencakup penyusunan strategi yang lebih inklusif untuk mendorong keadilan ekonomi dan mengurangi ketimpangan.
Pemerintah juga perlu lebih cermat dalam mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan, terutama pada masa-masa sulit seperti saat ini, agar kebijakan yang diambil tidak justru menambah beban pada kelompok yang sudah paling terpinggirkan.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi editorialkaltim.com
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Follow instagram “editorialkaltim”, caranya klik link https://www.instagram.com/editorialkaltimcom/ untuk mendapatkan informasi terkini lainnya.