
Oleh: Siti Fatimah, S.H
Editorialkaltim.com – Anak merupakan generasi penerus bangsa yang wajib untuk dilindungi, karena dengan baiknya masa depan anak akan sangat berpengaruh terhadap kemajuan negara. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak mendefinisikan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Belakangan ini di Kalimantan Timur (Kaltim) marak terjadi kasus kekerasan terhadap anak yang menimbulkan keresahan publik. Definisi kekerasan sendiri menurut Pasal 1 angka 15a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Kasus di Kalimantan Timur yang baru-baru ini mendapat perhatian publik adalah seorang ayah yang diduga membunuh 2 (dua) orang anaknya dan 8 (delapan) santri di salah satu pondok pesantren Kaltim yang diduga dicabuli oleh tenaga pengajar.
Anak memiliki kondisi fisik dan psikis yang berbeda dengan orang dewasa sehingga anak rentan menjadi korban tindak pidana. Namun dalam banyak kasus, anak sebagai korban justru enggan atau takut untuk melaporkan tindak pidana yang mereka alami.
Ketakutan ini bisa timbul karena adanya relasi kuasa dengan pelaku, ancaman, rasa malu, stigma sosial, maupun ketiadaan saluran pelaporan yang benar-benar aman bagi korban. Kenyataan tersebut menimbulkan pertanyaan sejauh mana perlindungan hukum yang ada mampu mengatasi hambatan psikologis, sosial, dan struktural yang membuat anak korban memilih diam?
Perlindungan hukum terhadap anak korban kekerasan sudah diatur dalam berbagai regulasi, seperti Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), dan juga Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara wajib dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak. Hal ini tertuang dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Perlindungan Khusus bagi Anak yang dimaksud dalam pasal tersebut lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 59A yakni dilakukan melalui upaya:
a. penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya;
b. pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;
c. pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari keluarga tidak mampu; dan
d. pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.
Regulasi tersebut menegaskan bahwa anak berhak memperoleh perlindungan khusus, termasuk hak atas kerahasiaan identitas, rehabilitasi, serta pendampingan hukum dan psikososial.
Namun fakta di lapangan menunjukkan, meskipun aturan hukum sudah ada, korban tetap banyak yang memilih diam. Hambatan psikologis, stigma sosial, dan lemahnya sistem pelaporan yang ramah anak membuat korban takut untuk melapor.
Kasus yang terjadi di Tenggarong, Kalimantan Timur, dimana terdapat 8 (delapan) santri yang diduga mendapatkan perlakuan tidak senonoh merupakan salah satu contoh nyata dimana korban takut untuk melaporkan kejadian tindak pidana yang dialami.
Ketakutan korban untuk melaporkan tindak pidana yang dialaminya berimplikasi pada meningkatnya risiko munculnya korban baru. Hambatan ini umumnya timbul karena korban merasa tidak dapat mempercayai lingkungan sekitarnya serta diliputi kekhawatiran bahwa kasus tersebut akan terekspos dan diketahui secara luas oleh masyarakat. Karena seperti yang diketahui bersama, kekerasan seksual terhadap anak masih dianggap tabu dalam masyarakat, sehingga banyak yang memandang peristiwa tersebut sebagai hal memalukan yang harus disembunyikan.
Sikap sosial ini mengakibatkan korban atau keluarga korban enggan melaporkan tindak pidana. Seharusnya dapat kita pahami bersama bahwa korban kekerasan seksual adalah individu yang sangat membutuhkan pertolongan dan perlindungan. Kekerasan seksual terhadap anak merupakan kejahatan yang sangat meresahkan dan merugikan masyarakat, terutama bagi kaum perempuan dan anak sebagai generasi yang diharapkan bisa memajukan bangsa dan negara.
Oleh karena itu, semua pihak baik keluarga maupun masyarakat diharapkan lebih jeli, peka, dan proaktif terhadap lingkungan sekitar untuk mencegah terjadinya kekerasan. Anak sebagai korban kekerasan seksual berhak mendapatkan perlindungan dari berbagai pihak, tidak hanya dari pemerintah atau keluarga, tetapi juga dari lembaga sosial, tenaga pendidik, aparat penegak hukum, dan seluruh elemen masyarakat yang memiliki kewajiban moral dan sosial untuk memastikan keselamatan dan kesejahteraan anak.
Upaya ini bukan sekadar bentuk kepatuhan terhadap regulasi, tetapi juga pemenuhan tanggung jawab bersama untuk melindungi anak sebagai generasi bangsa dan memastikan keadilan bagi korban.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa instrumen hukum perlindungan anak di Indonesia sudah cukup memadai secara normatif. Perlindungan anak telah diatur secara tegas dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang mewajibkan negara, pemerintah, dan lembaga terkait memberikan perlindungan khusus kepada anak korban kejahatan.
Selain itu, UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 67 menjamin hak korban untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pihak manapun, sementara Pasal 69 menegaskan hak korban atas kerahasiaan identitas dan pemberitaan.
Jaminan perlindungan identitas anak dalam pemberitaan media menjadi dasar perlunya saluran pelaporan yang aman agar anak tidak takut terekspos.
Tanpa adanya implementasi nyata dari aturan tersebut, anak korban akan tetap memilih diam. Akibatnya, pelaku memiliki ruang untuk terus mengulangi perbuatannya, sementara negara gagal memenuhi kewajiban konstitusionalnya dalam melindungi anak sebagai generasi penerus bangsa.
Maka dari itu, diperlukan langkah-langkah strategis dan konkret berupa:
- Pembentukan Saluran Aman Pelaporan (Safe Reporting Channel)
Saluran khusus (hotline, aplikasi, posko layanan) yang ramah anak, menjamin kerahasiaan identitas, serta melibatkan tenaga terlatih di bidang psikologi anak dan perlindungan hukum. - Penguatan Rumah Aman (Safe House) bagi Korban
Pemerintah Daerah Kaltim bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan LPSK perlu menyiapkan rumah aman khusus anak korban tindak pidana, dengan fasilitas rehabilitasi psikososial, layanan hukum, dan pendidikan. Rumah aman harus memastikan anak korban tetap bisa melanjutkan aktivitas belajar tanpa stigma. - Kolaborasi Multi-Stakeholder
Aparat penegak hukum, Pemerintah Daerah, sekolah/pesantren, dan lembaga masyarakat sipil wajib bekerja sama membangun sistem perlindungan terpadu. - Pengawasan dan Evaluasi
DPRD Kaltim dan Komnas Perlindungan Anak perlu melakukan pengawasan berkala terhadap implementasi perlindungan anak, agar tidak berhenti pada aspek normatif semata.
Negara, pemerintah daerah, aparat penegak hukum, dan lembaga layanan wajib memastikan mekanisme perlindungan yang telah diatur dalam undang-undang berjalan secara efektif. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Lembaga Bantuan Hukum Pendampingan Perempuan dan Anak Bina Aisyah Kaltim membuka saluran aman bagi korban kekerasan yang membutuhkan pendampingan hukum maupun perlindungan. Korban, keluarga, atau masyarakat dapat menghubungi langsung melalui WhatsApp di nomor 082155351866 untuk mendapatkan bantuan segera.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi editorialkaltim.com
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Follow instagram “editorialkaltim”, caranya klik link https://www.instagram.com/editorialkaltimcom/ untuk mendapatkan informasi terkini lainnya.