BerauKaltimOpini

Pemuda, Katalisator Nilai Politik Indonesia: Sebuah Refleksi Pada Hari Sumpah Pemuda emuda ke-96

Oleh: Muhamad Teguh Satria, S.Ak
Waketum DPD KNPI Berau

Muhamad Teguh Satria, Waketum DPD KNPI Berau (Foto: Dok Pribadi)

Editorialkaltim.com – Momentum sumpah pemuda yang selalu diperingati setiap tahun merupakan salah satu tonggak sejarah kenegaraan Indonesia.

Elemen pemuda berkonsolidasi dan menghasilkan sebuah konsensus progresif berupa penajaman identitas sebagai tanah air, bangsa hingga bahasa yang sama bernama Indonesia.

Seolah merebut masa depan, 17 tahun setelah upaya sekumpulan pemuda itu, Indonesia memproklamirkan diri di hadapan dunia internasional sebagai negara bangsa yang merdeka.

Tak berhenti disitu, 21 tahun setelah merdeka, komponen intelektual muda ini kembali berperan besar dalam fase transisi orde lama ke orde baru, mengusulkan pergantian kepemimpinan nasional dari Sang Proklamator yang akhirnya jatuh ke tangan Pak Harto selaku sosok pembaharu.

Tak berhenti disitu, 32 tahun setelahnya pun, fase koreksi kembali menemukan puncaknya. Pak Harto pun akhirnya lengser seiring dengan lahirnya episode baru Indonesia yang bernama era reformasi.

Begitulah sejarah mencatat dengan rapi, kiprah pemuda yang selalu konsisten hadir mendampingi fase-fase krusial kenegaraan, khususnya kontestasi politik lengkap dengan segala drama berikut kisah kontroversinya.

Lalu bagaimana kondisi politik Indonesia hari ini?

Hari-hari teranyar dalam dunia politik Indonesia, menjadi tantangan tersendiri bagi elemen pemuda, yang digadang-gadang oleh Tan Malaka sebagai bagian integral dari Indonesia dengan idealisme sebagai harta terakhirnya.

Tantangan-tantangan yang jamak dapat kita temui dalam situasi panggung politik nasional hari ini kurang lebih tergambar dalam empat aspek, yakni High Political Cost, Politik Oligarkis, Interlocked Politicians, hingga aspek Sirkulasi kepemimpinan Politik.

Baca  Diskominfo Kaltim Gelar Rapat Pra-Desk Pembahasan Indikator Pemantauan dan Evaluasi SPBE 2024

High Political Cost atau biaya politik yang tinggi merupakan realita yang kini dihadapi oleh berbagai politisi lintas ideologi. Selain menjadi konsekuensi logis dari sistem demokrasi, faktor tingkat pendidikan yang belum merata menjadi penyebab utama tingginya biaya politik di Indonesia.

Kini, politisi diyakini tak cukup sekadar kemampuan bernarasi tentang ide atau gagasan, para politisi juga dituntut harus memiliki modal tinggi agar tak tergeser oleh pihak-pihak yang modal gombal ditambah amplop tebal.

Uang seolah menjadi jalan pintas bagi segelintir manusia pragmatis yang lelah menghadapi kondisi massa yang nyaris putus asa.

Tantangan selanjutnya adalah Politik Oligarkis. Aspek ini merupakan dampak mahalnya biaya politik di Indonesia.

Politisi yang tak cukup modal, menyampaikan proposal atau menerima tawaran penambahan modal dengan syarat sederhana, yakni jaminan dukungan politik pada bisnis-bisnis para pemodal besar. Sederhananya, tidak ada makan siang gratis.

“Bantuan” logistik ini menjadi jembatan instan untuk menjadi pemimpin yang memenangkan kontestasi, diberikan kekuasaan tanpa keleluasaan. Berdiri, namun tak berdikari.

Aspek selanjutnya dalam politik Indonesia yang perlu menjadi perhatian adalah keterkaitan antar politisi (Interlocked Politicians). Independensi seorang politisi seyogyanya menjadi indikator kualitas produk-produk politik yang objektif dan revolusioner.

Namun, hal ini tidak berlaku bagi politisi yang saling terkait dengan politisi lainnya, sehingga terdapat faktor penentu yang tidak dapat dijangkau publik namun terasa nyata keterkaitannya. Entah karena faktor hierarki internal partai politik atau faktor “pengunci” lainnya yang membuat mereka kehilangan kekuatan dalam berkiprah dan berkarya melalui jabatan politiknya.

Baca  Berau Gelar Irau Manutung Jukut, Sajikan 14,2 Ton Ikan di Hari Jadi Kabupaten

Aspek terakhir adalah persoalan sirkulasi kepemimpinan politik. Indonesia tampak kehilangan jembatan pasca generasi angkatan 98 yang kini jamak ditemui pada jabatan-jabatan politik di Indonesia.

Para politisi muda pada masanya, seperti Fahri Hamzah, Budiman Sudjatmiko, Adian Napitupulu, Fadly Zon, dkk kini mulai memasuki fase senior dengan rerata usia memasuki 50 tahunan.

Kekosongan jembatan ini yang membuat regenerasi politik terlihat cukup lambat bahkan mandeg di beberapa sektor. Belantara politik ini harus ditembus dengan cepat jika ingin segera tampil di permukaan, meski harus menghasilkan luka batin imbas tergoresnya idealisme sebagai nilai tukar sebuah eksistensi di era politik modern.

Jika tak memiliki daya tahan, tentu tunas-tunas muda potensial yang dimiliki oleh Indonesia melalui calon-calon politisi muda dari kalangan aktivis atau intelektual, akan dengan mudah tersisih dari panggung-panggung politik yang menjadi tempat masyarakat menitipkan harapan.

Ditilik dari beban sejarahnya, tentunya elemen kepemudaan harus merebut kembali kesempatan untuk membenahi situasi yang sedang terjadi hari ini.

Nilai-nilai politik Indonesia harus kembali memiliki intisari ideologi yang diimpikan oleh para pahlawan, yakni nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi kerakyatan hingga keadilan sosial.

Tidak boleh lagi politik Indonesia mengalah pada kekuatan modal yang terus menerus menggurita, dan membuat masyarakat bahagia hanya sesaat, ketika musim pemilu tiba dengan lembaran rupiah yang tak seberapa.

Baca  PAN Klaim Rebut Satu Kursi DPR RI

Pemuda Indonesia harus konsisten tampil terdepan membumikan jiwa ksatria sebagai seorang negarawan.

Menawarkan gagasan melalui kemampuan komunikasi ke berbagai pihak agar dapat tereksekusi menjadi giat-giat produktif perbaikan keadaan.

Memaksimalkan kompetensi profesional agar dapat memberikan dampak signifikan pada bidang-bidang strategis, melalui jejaring sosial politik yang memiliki aspek eksponensial.

Meningkatkan kemampuan kemandirian ekonomi berbasis gotong royong dan kolaborasi. Sehingga aktivitas kolektif tersebut berimbas pada roda-roda ekonomi yang dapat menyentuh masyarakat dari berbagai golongan.

Serta berupaya merebut panggung-panggung publik, yang dapat menarik perhatian masyarakat agar ada nilai edukasi yang tersampaikan dengan baik.

Saat ini, yang bisa menjadi tokoh politik adalah mereka yang dekat dengan elite politik, mereka yang memiliki kekuatan kapital tak berseri, juga mereka yang memiliki tingkat popularitas tinggi.

Ke depan, ketiga jalan tersebut harus bisa dimaksimalkan oleh mereka yang memiliki karakter dan value yang bisa berdampak positif pada perbaikan situasi politik nasional.

Tak boleh lengah, apalagi terbuai oleh keadaan. Pemuda-pemuda harus berani tampil ke depan, dengan kaki dan tangannya sendiri.

Meski tak mudah, Indonesia berhak memiliki pemimpin besar yang hadir dari pribadi-pribadi pantang menyerah dan terus melaju dengan jati diri patriot sejati.(*)

(*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi editorialkaltim.com

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Follow instagram “editorialkaltim”, caranya klik link https://www.instagram.com/editorialkaltimcom/ untuk mendapatkan informasi terkini lainnya.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker