Malpraktik Kesehatan Lingkungan: Saat Kompetensi dan Kebenaran Ilmu Diabaikan

Oleh: Rahman Putra, AMKL., S.K.M., M.Ling.
Sekretaris Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia Kalimantan Timur (HAKLI KALTIM)
Editorialkaltim.com – Kesehatan lingkungan adalah salah satu pilar kesehatan masyarakat yang sering terlupakan, namun sangat menentukan kualitas kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Sayangnya, di banyak daerah, kita masih mendapati praktik-praktik di lapangan yang tidak sesuai dengan kualifikasi, kompetensi, dan wewenang yang seharusnya dimiliki tenaga kesehatan lingkungan. Fenomena ini, jika dibiarkan, bisa dikategorikan sebagai bentuk malpraktik kesehatan lingkungan.
Dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PermenPAN-RB) Nomor 71 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Sanitarian dan Angka Kreditnya, ditegaskan bahwa jabatan sanitarian hanya dapat diduduki oleh tenaga dengan latar belakang pendidikan minimal Diploma III, Diploma IV, atau Sarjana Kesehatan Lingkungan/Sanitasi Lingkungan, atau Sarjana Kesehatan Masyarakat dengan peminatan Kesehatan Lingkungan.
Demikian pula untuk jabatan Entomolog Kesehatan (entokes), telah diatur dalam PermenPAN-RB Nomor 36 Tahun 2016 tentang Jabatan Fungsional Entomolog Kesehatan dan Angka Kreditnya, yang menyebutkan bahwa entokes harus berasal dari pendidikan kesehatan lingkungan dengan peminatan Entomologi Kesehatan atau kesehatan lingkungan.
Aturan ini mempertegas: tidak semua orang bisa serta-merta melaksanakan tugas teknis kesehatan lingkungan hanya karena sudah lama bekerja di bidang ini atau sekadar pernah mengikuti pelatihan singkat.
Pertanyaan yang sering muncul adalah: bagaimana dengan lulusan non-Kesling yang sudah lama bekerja sebagai sanitarian? Misalnya, lulusan SKM dengan peminatan lain, atau lulusan gizi yang sejak lama menangani program kesehatan lingkungan. Di sinilah pentingnya mekanisme Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) sebagaimana diatur dalam Permendikbud Nomor 41 Tahun 2021. Melalui RPL, pengalaman kerja dan pembelajaran nonformal dapat diakui untuk memperoleh kualifikasi tertentu asalkan latar belakang pendidikannya relevan (Sarjana Kesehatan Masyarakat).
Namun, bagi mereka yang sama sekali tidak berlatar belakang Kesling (seperti perawat atau bidan), tidak bisa serta-merta disamakan kompetensinya hanya karena sudah lama bekerja di bidang tersebut. Analoginya: perawat atau bidan tidak otomatis menjadi dokter hanya karena sudah lama menyuntik pasien; menjadi dokter tetap memerlukan pendidikan kedokteran standar dan terakreditasi.
Malpraktik di bidang kesehatan lingkungan terjadi ketika program teknis dilaksanakan oleh orang-orang tanpa kompetensi dan kewenangan. Contoh: supervisi program kesehatan lingkungan oleh tenaga epidemiologi atau perawat yang tidak memahami standar teknis Kesling. Seorang sanitarian bisa saja belajar menyuntik lewat pelatihan sebulan, tetapi itu tidak membuatnya berwenang menggantikan perawat. Begitu pula sebaliknya.
Dalam Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) untuk Sanitarian (Keputusan Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor 115 Tahun 2022), telah ditetapkan secara rinci unit-unit kompetensi wajib sanitarian. Melaksanakan tugas di luar unit kompetensi tersebut berpotensi menjadi malpraktik.
Di banyak daerah, keterbatasan jumlah sanitarian atau entokes sering dijadikan alasan tenaga lain mengambil alih tugas mereka. Data menunjukkan masih ada lebih dari 2.000 Puskesmas yang belum memiliki sanitarian. Sayangnya, ini bukan karena tidak ada lulusan tersedia, melainkan karena pemerintah daerah belum memprioritaskan pemenuhan formasi ini.
Sebagai contoh, tenaga entokes bahkan belum masuk dalam daftar 11 tenaga kesehatan wajib di Puskesmas berdasarkan Permenkes Nomor 43 Tahun 2019, sehingga kehadirannya sering dianggap sekunder, bukan prioritas. Padahal, untuk memastikan pelayanan kesehatan masyarakat bermutu, prosesnya harus terstandar, SDM-nya terstandar, dan kompetensinya dapat dipertanggungjawabkan.
Ada kekhawatiran di kalangan sanitarian bahwa kewenangan mereka perlahan diabaikan dan dianggap sebagai pekerjaan yang bisa dilakukan siapa saja. Syukurlah, regulasi yang jelas masih ada untuk dijadikan pegangan. Namun, kebiasaan salah yang terus dilakukan lama-lama dianggap benar. “Kebenaran” semacam ini tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga mengkhianati kebenaran ilmu.
Di Kementerian Kesehatan, tim kerja vektor kini sudah dipindahkan ke bidang kesehatan lingkungan. Perlahan, pekerjaannya juga akan beralih. Maka, sanitarian harus tetap menjadi mentor, supervisor, sekaligus pembelajar sepanjang hayat dalam bidang ini.
Sanitarian, entokes, dan tenaga kesehatan lingkungan lainnya tidak hanya berperan menjaga kesehatan lingkungan, tetapi juga menjaga mutu dan integritas profesi. Advokasi untuk pemenuhan tenaga kompeten sesuai kualifikasi pendidikan dan berpegang pada regulasi harus terus dilakukan. Semoga ikhtiar kita semua mendapat ridha Tuhan. (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi editorialkaltim.com
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Follow instagram “editorialkaltim”, caranya klik link https://www.instagram.com/editorialkaltimcom/ untuk mendapatkan informasi terkini lainnya.