Keikhlasan Yang Tak Bertepi
Refleksi Perjuangan KH Ahmad Dahlan di Milad ke-113 Muhammadiyah

Oleh: Masykur Sarmian – Ketua Fokal IMM Kalimantan Timur Periode 2022–2027
Editorialkaltim.com – Dalam sejarah kebangkitan bangsa Indonesia, ada nama yang sinarnya tidak menuntut sorot lampu dan tidak pernah meminta tepuk tangan. Ia bukan pejabat tinggi, bukan bangsawan besar, dan bukan pemilik kekuasaan duniawi. Ia seorang guru kampung dengan hati yang dipenuhi kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya serta kegelisahan atas nasib umat.
Dialah KH Ahmad Dahlan, pembaharu yang memulai gerakan dari ruang sederhana di Kauman, Yogyakarta. Dari tangannya lahir Muhammadiyah, organisasi besar yang kini menjadi salah satu arus utama peradaban Indonesia.
Tulisan ini menelusuri jejak KH Dahlan, perjalanan Muhammadiyah, dan keikhlasan yang mengalir tanpa batas dalam perjuangannya.
1. Sejarah Berdirinya Muhammadiyah – Cahaya dari Kegelisahan
Awal abad ke-20 adalah masa ketika umat Islam Nusantara berada di titik lemah. Pendidikan tertinggal, ekonomi terseok, dan masyarakat terjepit kolonialisme serta kemiskinan.
Sepulang belajar dari Tanah Suci, KH Ahmad Dahlan melihat jurang antara ajaran Islam dan kehidupan umatnya. Masjid ramai, tetapi panti asuhan tak ada. Majelis zikir penuh, tetapi sekolah hampir tidak berdiri. Umat berbicara tentang surga, namun anak-anak miskin tetap lapar.
Dari kegelisahan itulah Muhammadiyah lahir pada 18 November 1912. Bukan dari kekuasaan atau modal, melainkan dari tekad untuk memurnikan agama dan memajukan umat.
2. Pengorbanan KH Dahlan – Barang yang Dilepas untuk Sebuah Cahaya
Sejarah menunjukkan KH Ahmad Dahlan bukan orang berlimpah harta. Ia hidup sederhana bersama Nyai Walidah. Namun pengorbanannya besar.
Ketika sekolah-sekolah Muhammadiyah berdiri dan anggaran serba terbatas, ia menggadaikan biola kesayangannya. Ia juga menjual sebagian besar perabot rumah kain, tikar, hingga alat makan—demi kebutuhan murid dan guru.
Suatu ketika, seseorang menasihatinya agar tidak menjual semuanya.
Beliau menjawab:
“Jika menunggu, anak-anak itu keburu bodoh dan lapar. Agama harus dikerjakan, bukan ditunda-tunda.”
Inilah fondasi Muhammadiyah: keberanian untuk tidak memiliki apa pun demi memberikan harapan kepada banyak orang.
3. Gempar Al-Maa’un – Tarbiyah yang Menghidupkan Ayat
KH Dahlan bukan hanya guru, tetapi murabbi sejati. Peristiwa paling berkesan adalah ketika beliau mengajarkan Surat Al-Maa’un.
Ia mengulang ayat itu berhari-hari hingga murid merasa heran. Ketika ditanya alasannya, KH Dahlan meneteskan air mata. Ia bersedih bukan karena murid tidak paham, tetapi karena umat tidak mengamalkan isi ayat tersebut.
“Apa gunanya menghafal ayat tentang memberi makan orang miskin jika kita tidak pernah memberi makan mereka?”
Dari peristiwa itu, murid-murid mulai mendatangi fakir miskin, membantu anak yatim, dan melayani orang sakit. Tafsir menjadi perbuatan. Iman menyatu dengan amal.
Dari sanalah tumbuh amal usaha Muhammadiyah: sekolah, rumah sakit, layanan sosial, dan gerakan kemanusiaan tanpa sekat agama maupun bangsa.
4. Keikhlasan yang Luar Biasa – Warisan Tanpa Harta
KH Ahmad Dahlan tidak pernah meminta penghormatan atau kekuasaan. Rumahnya sederhana, hartanya sedikit, dan pakaian yang dimiliki hampir tidak bertambah.
Namun warisannya abadi: gerakan dakwah yang hidup lebih dari seratus tahun.
Keikhlasannya menjadi energi utama Muhammadiyah. Kesederhanaannya menjadi teladan. Air matanya menjadi sumber mata air kebaikan.
Itulah “keikhlasan yang tak bertepi”, keikhlasan yang menembus zaman.
5. Potret Muhammadiyah Kini – Pohon Besar dari Benih Air Mata
Kini Muhammadiyah menjelma menjadi salah satu gerakan Islam terbesar di dunia. Jejaknya terlihat dalam:
- ratusan perguruan tinggi,
- ribuan sekolah dan pesantren,
- rumah sakit modern,
- lembaga kemanusiaan internasional,
- gerakan pemberdayaan perempuan,
- dan amal usaha di seluruh Indonesia.
Saat bencana melanda, relawan Muhammadiyah sering menjadi yang pertama hadir dan terakhir pulang. Saat anak yatim membutuhkan uluran tangan, panti-panti Muhammadiyah terbuka. Saat bangsa membutuhkan moderasi, Muhammadiyah tampil dengan pemikiran sejuk dan rasional.
Semua dimulai dari seorang guru kampung yang merenungi bagaimana caranya agar umat bisa membaca, bisa makan, dan bisa hidup bermartabat.
6. Meneladani KH Dahlan sebagai Tokoh Pergerakan
KH Ahmad Dahlan adalah tokoh agama sekaligus tokoh perubahan. Ia menanamkan lima hal:
- Perubahan dimulai dari diri sendiri—tidak perlu menunggu kaya atau berkuasa.
- Ilmu harus melahirkan amal—ayat tanpa perbuatan belum benar-benar dipahami.
- Keberanian moral mengalahkan materi—ia melawan kejumudan dan penjajahan pemikiran.
- Kemandirian adalah kunci—Muhammadiyah berdiri tanpa bergantung pada kekuasaan.
- Kemanusiaan adalah inti dakwah—agama hadir untuk membela manusia.
Indonesia membutuhkan banyak figur seperti KH Ahmad Dahlan: berpikir jernih, berhati bersih, dan beramal nyata.
7. Refleksi – Air Mata yang Menjadi Sungai Kebaikan
Gedung-gedung sekolah, rumah sakit, dan lembaga kemanusiaan Muhammadiyah hari ini adalah hasil dari air mata dan kegelisahan seorang kiai.
Ia tidak meminta dikenang, namun sejarah menyebut namanya dengan hormat.
Jika hari ini kita merasakan manfaat Muhammadiyah, itu karena dulu ada seorang guru yang rela lapar agar muridnya kenyang, rela tidak tidur agar orang lain bisa belajar, dan rela tidak memiliki apa pun agar umat memiliki masa depan.
8. KH Ahmad Dahlan Menjelang Wafat – Puncak Tauhid
Di akhir hayat, KH Ahmad Dahlan tidak meninggalkan kemegahan. Rumahnya sederhana dan hartanya hampir tidak ada. Meski memimpin gerakan besar, ia tetap hidup sebagai guru dan pendakwah yang menjaga akhlak dan ibadahnya.
Para murid sepakat bahwa beliau wafat dalam keteguhan tauhid dan kesabaran luar biasa. Detik-detik terakhir hidupnya dipenuhi zikir dan ketenangan.
Allah SWT berfirman:
اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, ‘Tuhan kami adalah Allah,’ kemudian mereka istiqamah, maka tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.”
(QS Al-Ahqaf: 13)
KH Ahmad Dahlan wafat pada 7 Rajab 1341 H atau 23 Februari 1923 M dalam usia 56 tahun. Ia dimakamkan di Karangkajen dengan sangat sederhana. Tidak ada bangunan megah—hanya tanah, batu penanda, dan doa.
Makam itu tenang, tetapi dari kesederhanaan tersebut lahir ribuan amal usaha dan jutaan manusia yang merasakan manfaat perjuangannya.
9. Bangsa Ini Harus Berterima Kasih kepada KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah
Bangsa ini berutang budi kepada KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah atas sekolah-sekolahnya, rumah sakitnya, perguruan tingginya, panti asuhannya, pesantren-pesantrennya, keteguhan dai-dainya, pemikiran tajdid, keteladanan akhlak, peran guru dan kader, serta keberanian moral yang diwariskan.
Izinkan penulis menyampaikan:
Terima kasih untukmu, Muhammadiyah.
Terima kasih atas cahaya yang dijaga dalam senyap.
Terima kasih atas langkah kebaikan yang tidak pernah berhenti.
Terima kasih atas warisan KH Ahmad Dahlan—semangat, ketulusan, pengorbanan, kesabaran, ketekunan, dan pengabdian yang terus mengaliri negeri.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi editorialkaltim.com
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Follow instagram “editorialkaltim”, caranya klik link https://www.instagram.com/editorialkaltimcom/ untuk mendapatkan informasi terkini lainnya.



