
Editorialkaltim.com – Kawasan pegunungan Latimojong, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, kian menjadi medan kontestasi kepentingan segelintir elite ekonomi. Di balik tambang emas yang menjanjikan kemakmuran itu, tersingkap praktik lama kapitalisme ekstraktif yang bertahan dalam rupa baru: kemitraan antarperusahaan tambang yang disokong oligarki, difasilitasi negara, dan dibungkam melalui bahasa pembangunan.
PT Masmindo Dwi Area, perusahaan pemegang konsesi tambang emas di Latimojong, dalam rilis resminya menyebutkan dua mitra kontraktor besar: PT Petrosea Tbk dan PT Macmahon Indonesia. Namun, di balik nama-nama ini, berdiri gurita kuasa modal yang sudah lama mengukir jejak dalam eksploitasi sumber daya alam Indonesia.
Di Balik Laporan Keuangan: Jejak Kuasa Modal
Laporan Keuangan Konsolidasian PT Petrosea Tbk tertanggal 27 Maret 2024 yang diaudit oleh Kantor Akuntan Publik Imelda & Rekan, dan ditandatangani oleh Presiden Direktur Michael, mengungkap benang merah lama antara korporasi tambang dan konglomerasi.
Hingga 2022, PT Indika Energy Tbk milik Arsjad Rasjid dan Agus Lasmono Sudjudiono pernah menjadi pemegang saham Petrosea. Dalam periode inilah Petrosea dan PT Masmindo meneken kontrak jumbo, termasuk proyek FEED senilai lebih dari Rp185 miliar dan Notice to Proceed sebesar Rp58 miliar. Bahkan, kontrak perpanjangan senilai Rp95 miliar diteken pada 2022, dengan masa berlaku hingga Agustus 2025.
Walau Indika kini resmi lepas dari Petrosea, tidak berarti gurita kuasa telah putus. Justru, relasi bisnis tambang tetap berlangsung di antara mereka yang sejak awal sudah menguasai denyut ekonomi ekstraktif di republik ini.
Oligarki di Ruang Kendali
Siapa sebenarnya pemilik dari perusahaan-perusahaan ini?
Petrosea kini berada dalam kendali PT Kreasi Jaya Persada milik Prajogo Pangestu—orang terkaya Indonesia versi Forbes 2024. Sementara PT Macmahon Indonesia, meski berbendera Australia, sepenuhnya dikuasai pihak Indonesia melalui PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN). Di dalamnya, terkubur kepemilikan Salim Group melalui PT Sumber Gemilang Persada (45,18%), PT Medco milik Agoes Projosasmito, dan AP Investment yang juga terhubung dengan elite tambang nasional.
Jaringan saham berlapis itu tidak berhenti pada nama-nama besar tersebut. Happy Hapsoro, suami Ketua DPR Puan Maharani, juga disebut memiliki saham di Petrosea. Demikian pula Roy Nitiyudo, pemilik Indotan Group yang sebelumnya terlibat dalam sengketa tambang di Blok Wabu, Papua.
Skema Proxy: Kuasa Tanpa Tanda Tangan
Apa yang terjadi di Latimojong bukan hanya cerita tentang kontrak, melainkan tentang bagaimana oligarki menyamarkan kuasa melalui skema proxy business. Skema ini melibatkan perusahaan cangkang, perantara kepemilikan, hingga rekayasa struktur saham untuk menyamarkan pengaruh nyata. Hasilnya: penguasaan tambang berlangsung tanpa jejak langsung, sementara tanggung jawab sosial dan ekologis dilimpahkan ke pihak-pihak ketiga.
Praktik ini melanggengkan apa yang disebut David Harvey sebagai accumulation by dispossession—akumulasi modal melalui perampasan. Tanah dan hutan disulap menjadi “aset” tambang; rakyat kehilangan ruang hidup, sementara perusahaan menuai dividen.
Tambang Murah, Bencana Mahal
Masyarakat Luwu telah lama memendam keresahan. Model tambang terbuka (open pit mining) yang direncanakan Masmindo merupakan metode murah bagi korporasi, tapi mahal bagi lingkungan dan masyarakat. Risiko longsor, banjir, dan rusaknya sumber mata air kini menjadi harga yang tak dibayar dalam neraca laba rugi perusahaan.
Gubernur Sulawesi Selatan, Andi Sudirman Sulaiman, sempat meminta agar metode ini dikaji ulang. Namun, tanpa tindak lanjut konkret, pernyataan itu hanya menjadi kosmetik populis di tengah derasnya tekanan modal.
Jika pemerintah benar berpihak pada rakyat, seharusnya dibentuk tim evaluasi independen yang melibatkan akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan komunitas adat. Namun, hingga kini, suara-suara dari bawah seolah dikubur bersama tanah-tanah yang digali.
Emas untuk Mereka, Lumpur untuk Rakyat
Pertanyaannya sederhana: siapa yang sebenarnya diuntungkan dari tambang emas Latimojong?
Jawabannya, lagi-lagi: segelintir elit ekonomi-politik yang menguasai tambang di berbagai pelosok negeri. Dari Papua hingga Sulawesi, dari Wabu hingga Latimojong, pola relasi kuasa tetap sama: rakyat dijanjikan kesejahteraan, tapi hanya diberi upah murah, polusi, dan konflik agraria.
Di tengah hiruk-pikuk narasi “hilirisasi” dan “investasi hijau”, tambang Latimojong menunjukkan bahwa model ekonomi ekstraktif belum berubah. Ini bukan tentang emas, tapi tentang bagaimana negara terus gagal menjadi pelindung rakyat dari kuasa kapital.
Penutup: Negara, Untuk Siapa?
Negara seharusnya berdiri sebagai penyeimbang antara kepentingan rakyat dan kekuatan modal. Namun ketika negara justru menjadi fasilitator akumulasi, maka pertanyaan dasarnya bukan lagi soal tambang—melainkan soal legitimasi: negara ini milik siapa?
Latimojong bukan sekadar lanskap geografis. Ia adalah cermin telanjang dari politik sumber daya di Indonesia: rakyat menunggu keadilan, sementara oligarki terus menambang, menambang, dan menambang.(*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi editorialkaltim.com
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Follow instagram “editorialkaltim”, caranya klik link https://www.instagram.com/editorialkaltimcom/ untuk mendapatkan informasi terkini lainnya.