Bahaya Tersembunyi di Balik Bungkus Makanan Panas: Tinjauan dan Dampak bagi Kesehatan Masyarakat

Editorialkaltim.com – Dalam dunia kuliner Indonesia, kebiasaan membungkus makanan atau takeaway telah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Fenomena ini melintasi berbagai lapisan sosial dan ekonomi, mulai dari pekerja kantor yang memesan makan siang melalui aplikasi hingga buruh yang membeli sarapan di warung tegal (warteg). Kemudahan, kecepatan, dan kepraktisan menjadi penggerak utama ekonomi kuliner mikro tersebut.
Namun, di balik kenyamanan makanan panas seperti nasi uduk, bakso kuah, atau gorengan yang baru diangkat dari penggorengan, terdapat interaksi kimia yang kompleks dan kerap luput dari perhatian masyarakat serta pengawasan yang ketat. Kondisi ini menghadirkan bahaya tersembunyi berupa krisis kesehatan masyarakat yang bersifat kronis, akumulatif, dan tidak kasatmata, yang bersumber dari bahan kemasan makanan itu sendiri.
Paparan zat kimia dari kemasan makanan bukanlah racun yang menimbulkan dampak instan. Sebaliknya, paparan tersebut bekerja melalui proses akumulasi jangka panjang. Zat-zat seperti logam berat, ftalat, stirena, dan bisfenol A (BPA) dapat menumpuk dalam jaringan tubuh selama bertahun-tahun dan berkontribusi terhadap meningkatnya prevalensi penyakit degeneratif, gangguan hormonal, karsinogenesis, serta gangguan perkembangan janin di Indonesia.
Berdasarkan tinjauan ilmiah, regulasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), studi toksikologi molekuler, serta analisis pasar, tulisan ini berupaya mengungkap ketidaktahuan yang selama ini melindungi praktik penggunaan kemasan berbahaya. Proses migrasi zat kimia dari dinding kemasan ke makanan hingga berinteraksi dengan sel-sel tubuh manusia menjadi sorotan utama, termasuk alasan mengapa regulasi yang ada belum sepenuhnya efektif diterapkan di lapangan.
Risiko utama dari penggunaan kemasan makanan panas adalah berpindahnya bahan kimia berbahaya, seperti BPA, ftalat, dan stirena, dari plastik ke makanan akibat paparan suhu tinggi. Proses ini berpotensi menimbulkan dampak kesehatan jangka panjang, antara lain kanker, gangguan hormon pada sistem reproduksi dan tiroid, obesitas, diabetes, penyakit jantung, serta gangguan pertumbuhan pada anak. Bahan-bahan tersebut bekerja dengan mengganggu metabolisme dan sistem endokrin tubuh.
Secara kimiawi, plastik tersusun atas rantai polimer yang saling terikat. Ketika terpapar suhu tinggi, seperti kuah bakso mendidih atau gorengan panas, pori-pori plastik melebar dan ikatan kimianya melemah. Dalam kondisi ini, minyak dan lemak berperan sebagai media penghantar karena sifat bahan kimia plastik yang cenderung lipofilik. Akibatnya, zat-zat tersebut terlepas dari kemasan, larut dalam lemak, dan meresap ke dalam makanan yang dikonsumsi.
Ancaman sering kali tampak paling jelas pada kantong plastik hitam yang umumnya terbuat dari bahan daur ulang dengan asal-usul tidak jelas, bahkan berpotensi mengandung residu pestisida atau limbah berbahaya. Namun, kemasan yang tampak bersih pun tidak selalu aman. Plastik transparan yang tidak berbahan food grade dapat terurai menjadi senyawa beracun saat terpapar suhu tinggi. Demikian pula kertas nasi berlapis lilin atau plastik yang tidak dirancang untuk panas, sehingga lapisannya mudah meleleh dan bercampur dengan nasi atau lauk panas.
Selain itu, penggunaan kertas gula, kertas semen, atau kertas bekas cetakan sebagai pembungkus makanan pasar juga menyimpan risiko serius. Bahan-bahan tersebut dapat mengandung sisa pemutih dan perekat yang sama sekali tidak aman untuk konsumsi manusia. Dengan demikian, hampir semua jenis kemasan dapat menjadi berbahaya apabila digunakan tidak sesuai dengan standar keamanannya.
Ancaman lain yang kerap diabaikan adalah penggunaan kertas koran atau kertas cetak bekas sebagai alas makanan. Meskipun kertas sering dianggap lebih alami dibandingkan plastik, tinta cetak pada kertas koran mengandung pelarut kimia yang tidak tahan panas. Ketika terkena minyak panas, tinta dapat mencair dan berpindah ke makanan.
Lebih mengkhawatirkan lagi, tinta cetak kerap mengandung logam berat timbal (Pb). Logam berat ini bersifat permanen dan tidak dapat diuraikan oleh tubuh. Setelah masuk ke dalam tubuh, timbal akan terakumulasi dalam darah, tulang, dan jaringan lunak, sehingga berisiko merusak sistem saraf pusat, menyebabkan anemia, serta mengganggu fungsi ginjal dalam jangka panjang. Tanpa disadari, konsumsi makanan goreng yang dialasi kertas koran berarti menambahkan paparan racun ke dalam tubuh.
Persoalan kemasan makanan panas bukan semata isu individu, melainkan tantangan struktural yang melibatkan perilaku konsumen, praktik usaha kecil, dan efektivitas pengawasan pemerintah. Oleh karena itu, upaya penanggulangannya harus dilakukan secara kolektif dan berkelanjutan.
Langkah paling cepat dapat dimulai dari konsumen dengan membiasakan diri membawa wadah makanan sendiri saat membeli makanan siap saji. Kebiasaan ini merupakan bentuk tanggung jawab personal terhadap kesehatan. Membawa wadah sendiri bukanlah tindakan kuno atau berlebihan, melainkan cerminan konsumen cerdas yang peduli terhadap apa yang dikonsumsi.
Di sisi lain, pemerintah melalui Dinas Kesehatan dan BPOM perlu meningkatkan ketegasan dalam pengawasan. Edukasi semata tidak cukup tanpa penegakan hukum yang konsisten. Regulasi mengenai keamanan kemasan pangan harus diterapkan secara nyata di lapangan. Pengawasan pasar tidak boleh hanya berfokus pada kandungan bahan berbahaya dalam makanan, tetapi juga pada jenis kemasan yang digunakan. Larangan penggunaan kantong plastik hitam dan kertas koran untuk kontak langsung dengan makanan harus disertai sanksi yang jelas.
Maraknya praktik penggunaan kemasan berbahaya dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan pendidikan. Dari sisi pedagang, kemasan berisiko sering dipilih karena lebih murah dan mudah diperoleh. Di tengah tekanan biaya produksi, pedagang kecil cenderung mempertahankan opsi paling ekonomis. Namun, konsumen juga memiliki peran besar karena sering kali bersikap permisif akibat kurangnya pengetahuan dan enggan menyampaikan kritik. Budaya “yang penting murah dan kenyang” membuat standar keamanan pangan menjadi rendah.
Pada akhirnya, kesehatan merupakan investasi jangka panjang yang tidak ternilai. Kesenangan sesaat dari makanan panas tidak sebanding dengan risiko penyakit kronis akibat akumulasi bahan kimia berbahaya. Sudah saatnya masyarakat lebih peka terhadap kemasan makanan yang digunakan, karena tubuh manusia bukanlah tempat pembuangan sisa plastik dan logam berat.
Penulis:
Mahasiswa Program Studi S1 Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Kalimantan Timur
- Aliya Rahmadani (241102414079)
- Rakhimatul Al ‘Adawi’ah (241102414075)
- Nabila Dwi Salsabila (241102414073)
- Cahaya Ulan Dari (2411102414076)
- Azizah Riyanti Kirom (2411102414072)
- Darmawati Derang (2411102414074)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi editorialkaltim.com
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Follow instagram “editorialkaltim”, caranya klik link https://www.instagram.com/editorialkaltimcom/ untuk mendapatkan informasi terkini lainnya.



