Opini

Analisis Komparatif Kebijakan Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan Di Unmul: Studi Permenristekdikti No. 30/2021 Dan Permendikbudristek No. 55/2024

Oleh Kementerian Gender BEM KM Universitas Mulawarman

Editorialkaltim.com – Peraturan menteri terkait penanganan kekerasan di Indonesia telah mengalami revisi yang sangat signifikan, dengan adanya Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024, maka Permenristekdikti No. 30 Tahun 2021 sudah tidak berlaku. Perubahan regulasi tersebut mengubah Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) menjadi Satgas PPKPT (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi). Hal ini menandai babak baru dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia.

Peraturan menteri ini hadir sebagai penyempurnaan dari peraturan sebelumnya, yaitu Permenristekdikti No. 30 Tahun 2021, yang dianggap masih memiliki beberapa kelemahan dalam implementasinya. Oleh karena itu, Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 hadir sebagai upaya untuk memperbaiki kekurangan dalam peraturan sebelumnya.

Tujuan utama dari perluasan definisi kekerasan dalam Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 adalah memberikan perlindungan lebih menyeluruh bagi perempuan dan anak dari berbagai bentuk kekerasan. Definisi yang lebih luas ini mencakup beragam jenis kekerasan, termasuk fisik, psikis, seksual, dan ekonomi, serta mempertimbangkan dampak jangka panjang yang ditimbulkan pada korban. Dengan perluasan ini, identifikasi dan penanganan kasus kekerasan menjadi lebih mudah, termasuk kasus-kasus yang sebelumnya mungkin tidak terdeteksi.

Urgensi penerbitan Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 terletak dalam beberapa poin penting, yaitu peningkatan mekanisme pencegahan kekerasan yang lebih komprehensif dan inklusif, mencakup berbagai bentuk kekerasan yang sebelumnya mungkin tidak terdapat dalam Permenristekdikti No. 30 Tahun 2021. Mekanisme pencegahan dalam Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 lebih proaktif dan terintegrasi, melibatkan berbagai pemangku kepentingan, serta menekankan upaya preventif di akar permasalahan.

Baca  Cinema Caravan Jepang Hadir di Universitas Mulawarman

Peraturan ini juga memperkuat akses layanan bagi korban, mempermudah prosedur pelaporan, serta menjamin perlindungan yang efektif dari ancaman sekunder. Selain itu, peran lembaga dan individu dalam penanganan kasus diperjelas dan diperkuat, menciptakan sistem yang lebih terkoordinasi dan akuntabel.

Melalui analisis komparatif antara Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 dan Permenristekdikti No. 30 Tahun 2021, terlihat adanya peningkatan signifikan dalam kejelasan regulasi, efektivitas mekanisme, dan jangkauan perlindungan bagi korban kekerasan.

Pembahasan

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) di Indonesia mengalami perubahan signifikan dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan perguruan tinggi. Dengan adanya Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024, maka Permenristekdikti No. 30 Tahun 2021 sudah tidak berlaku.

Salah satu perubahan utama dalam regulasi ini adalah cakupan kekerasan yang diatur. Dalam Permenristekdikti No. 30 Tahun 2021, kekerasan seksual menjadi poin utama. Kekerasan seksual diartikan sebagai segala perbuatan yang merendahkan, menghina, melecehkan, serta menyerang tubuh atau fungsi reproduksi seseorang yang disebabkan oleh ketimpangan relasi kuasa atau gender, sehingga menyebabkan penderitaan fisik maupun psikis bagi korban.

Namun, dalam Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024, cakupan substansi diperluas, tidak hanya menitikberatkan pada kekerasan seksual, tetapi juga mencakup berbagai bentuk kekerasan lain, seperti kekerasan fisik, psikis, dan ekonomi yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi.

Baca  Polemik Pemangkasan Anggaran Komnas Perempuan 2025: Dilema Efisiensi dan Urgensi Layanan Publik

Selain substansi regulasi, Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 juga menambahkan aturan baru mengenai diskriminasi dan intoleransi sebagai salah satu bentuk kekerasan di perguruan tinggi. Peraturan ini mendefinisikan bahwa diskriminasi dan intoleransi adalah tindakan yang membedakan, mengecualikan, membatasi, atau memilih individu maupun kelompok berdasarkan berbagai faktor, seperti suku, etnis, agama, ras, warna kulit, usia, status sosial ekonomi, kewarganegaraan, afiliasi ideologi, jenis kelamin, serta kondisi intelektual, mental, sensorik, dan fisik seseorang.

Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 hadir sebagai bentuk transformasi signifikan dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di perguruan tinggi Indonesia, menggantikan Permenristekdikti No. 30 Tahun 2021 yang dinilai memiliki beberapa keterbatasan.

Perubahan substansial yang paling mencolok terlihat dari perluasan definisi kekerasan, yang tidak lagi terbatas pada kekerasan seksual, tetapi juga mencakup kekerasan fisik, psikis, dan ekonomi. Penambahan ketentuan mengenai diskriminasi dan intoleransi menunjukkan keseriusan pemerintah dalam menangani berbagai bentuk kekerasan di lingkungan akademik.

Selain itu, cakupan tanggung jawab diperluas dengan melibatkan mitra perguruan tinggi di samping warga dan pimpinan kampus, mencerminkan pendekatan kolaboratif yang lebih komprehensif. Transformasi struktural dari Satgas PPKS menjadi PPKPT, serta perubahan mekanisme pembentukan Satgas yang memberikan kewenangan lebih besar kepada pimpinan perguruan tinggi, menandakan upaya penguatan sistem kelembagaan dalam penanganan kekerasan.

Baca  Semarak Dies Natalis Unmul Ke-62 dengan Jalan Santai Bersama Civitas Akademika

Saran

Berdasarkan perubahan regulasi yang ada, beberapa langkah perlu segera dilakukan:

  1. Setiap perguruan tinggi harus segera membentuk Satgas PPKPT sesuai amanat Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 untuk mengantisipasi kebingungan dalam pengaduan kasus kekerasan.
  2. Satgas PPKPT perlu melibatkan tenaga ahli di bidang psikologi, hukum, dan pendampingan sosial untuk memberikan bantuan menyeluruh kepada korban.
  3. Kampus perlu memasukkan pendidikan anti-kekerasan dalam kurikulum untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa dan tenaga kependidikan.
  4. Sistem pelaporan harus diperbaiki agar lebih mudah diakses tetapi tetap menjaga kerahasiaan pelapor dengan memanfaatkan teknologi digital yang aman.
  5. Anggota Satgas PPKPT perlu mendapat pelatihan berkala dalam aspek hukum, psikologi, dan penanganan kasus.
  6. Kerja sama dengan aparat hukum, organisasi masyarakat, dan lembaga pendampingan korban harus diperkuat untuk memastikan penanganan kasus yang lebih baik.

Dengan implementasi langkah-langkah tersebut, diharapkan pencegahan dan penanganan kekerasan di kampus dapat berjalan lebih efektif, menciptakan lingkungan akademik yang aman dan nyaman bagi seluruh civitas akademika.(*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi editorialkaltim.com

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Follow instagram “editorialkaltim”, caranya klik link https://www.instagram.com/editorialkaltimcom/ untuk mendapatkan informasi terkini lainnya.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker