
Editorialkaltim.com – Kembali mendapat sorotan publik. Rumah Sakit Umum Daerah Abdoel Wahab Sjahranie (RSUD AWS) Samarinda, mendapat kecaman terkait dugaan pengusiran seorang pasien balita berusia 16 bulan yang tengah menjalani perawatan intensif akibat Hidrosefalus, atau terjadinya penumpukan cairan di otak.
Diketahui, balita itu telah menjalani tiga kali operasi sejak Februari 2025. Namun, kondisinya semakin memburuk, dan berisiko kebutaan dan kelumpuhan pada satu sisi tubuh. Di tengah kondisi kritis tersebut, keluarga pasien diminta untuk membawa pulang anak mereka yang bernama Radepa, kendati kondisinya belum memungkinkan.
Anggota Komisi I DPRD Kota Samarinda, Adnan Faridhan mengatakan bahwa telah turun langsung, dan mengaku terkejut atas kondisi pasien serta informasi yang disampaikan keluarga.
“Saya sudah melihat langsung kondisi Radepa. Menurut saya, sangat tidak memungkinkan untuk dipulangkan. Dari penuturan keluarganya, sempat diberi pilihan seperti jika menolak tindakan medis maka harus keluar dari rumah sakit pagi itu. Ini sangat menganggu secara etika,” kata Adnan, Kamis (24/4/2025).
Adnan menegaskan jika pelayanan kesehatan publik perlu mempertimbangkan sisi kemanusiaan dan psikologis keluarga pasien, bukan hanya berlandaskan prosedur administratif.
“Ini sudah menyangkut nyawa anak. Kita semua bertanggung jawab, rumah sakit, Pemerintah, dan legislatif. Jangan sampai karena kesalahpahaman, ada nyawa yang terancam,” ujarnya.
Ia juga menyebut telah bertemu dengan pihak RSUD AWS, guna mengklarifikasi dan mendorong rumah sakit agar membuka ruang komunikasi secara transparan kepada pihak keluarga pasien.
“Kasus seperti ini kiranya bisa dijadikan pembelajaran. Tidak hanya untuk RSUD AWS, tetapi semua rumah sakit. Keluarga pasien tidak boleh dibiarkan merasa bingung dan sendirian menghadapi situasi sulit,” tegas Adnan.
Terpisah, Kepala Instalasi Humas, dr. Arysia Andhina menyatakan bahkan pihak rumah sakit tidak pernah ada instruksi resmi dari manajemen rumah sakit untuk memulangkan secara paksa pasien.
“Kemungkinan ini terjadi kesalahpahaman antara petugas dan keluarga pasien. Mungkin pasien disarankan pulang karena tidak ada tindakan medis lanjutan pada saat itu. Namun, semua keputusan seperti itu harusnya melalui penjelasan yang menyeluruh agar tidak menimbulkan kesan memaksa,” jelas dr. Arysia.
Ia juga membeberkan kondisi pasien Radepa yang kritis. Pemasangan alat medis seperti shunt untuk mengalirkan cairan dari otak memang lazim dilakukan, tetapi memiliki tingkat kegagalan yang tak bisa diabaikan, terutama pada anak-anak yang masih dalam pertumbuhan cepat.
“Risiko kegagalan alat shunt di usia di bawah dua tahun sekitar 4 persen. Tetapi saat pasien di usia 10 tahun, angka kegagalannya bisa meningkat capai 98 persen. Ini bukan kesalahan prosedur, melainkan bagian dari keterbatasan medis yang telah diketahui melalui berbagai studi ilmiah,” tandasnya. (Nit/Adv)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Follow instagram “editorialkaltim”, caranya klik link https://www.instagram.com/editorialkaltimcom/ untuk mendapatkan informasi terkini lainnya.