
Editorialkaltim.com – Polemik pemutusan kontrak tenaga honorer dengan masa kerja di bawah dua tahun di Kota Bontang masih terus bergulir.
Menyikapi hal itu, Ketua Komisi A DPRD Kota Bontang, Heri Keswanto menyebut jika perihal ini telah dilakukan rapat dengar pendapat (RDP) bersama forum non-ASN perihal pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) pada tanggal 15 Februari 2025 lalu.
“Jadi sebelum akhirnya diputuskan untuk pemutusan kontrak kami (DPRD) beserta pemerintah sudah mengupayakan yang terbaik namun tetap pemerintah harus mengambil langkah tersebut,” ungkapnya belum lama ini.
Selanjutnya, pria yang akrab disapa Herkes ini mengungkapkan bahwa pasca RDP, Komisi A DPRD Bontang bertolak ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) untuk menyampaikan nasib honorer yang masa kerjanya di bawah dua tahun.
“Kami (DPRD) tidak tinggal diam namun pada saat kunjungan tersebut Kemenpan RB menyampaikan semua poin yang disampaikan yang kemudian diserahkan kelanjutannya ke daerah,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia bilang jika sejak 2014 lalu regulasi mengenai larangan rekrutmen tenaga honorer sebenarnya sudah disampaikan pemerintah pusat melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014. Tetapi, di daerah tetap melakukan praktik perekrutan tenaga honorer termasuk setelah ada penegasan di tahun 2018 dan 2023.
“Bahkan pemerintah bersama Kepala Daerah Wakil Wali Kota Agus Haris beberapa kali berkunjung ke Kemenpan RB untuk berkoordinasi dan melanjutkan perjuangan ini tapi memang sudah tidak bisa,” jelasnya.
Politisi Gerindra ini menjelaskan terkait dengan hasil konsultasi dengan Kemenpan RB. Katanya, pemerintah pusat menilai pelanggaran dilakukan oleh daerah. Karena tetap melakukan perekrutan padahal sudah dilarang secara aturan. Hal itu mereka menempatkan tanggung jawab utama pada pemerintah daerah.
“Jadi kalau saat ini Kemenpan RB sudah lepas tangan, mereka menyampaikan bahwa yang salah itu daerah, kenapa dilimpahkan lagi kepada kami, lantaran perekrutan honorer ini sudah tidak diperbolehkan tapi masih saja merekrut,” tambahnya.
Selain masalah regulasi, Politisi Gerindra ini menyebut jika tantangan lainnya ialah masalah keterbatasan anggaran. Beban belanja pegawai di Kota Bontang maksimal 30 persen. Apabila seluruh honorer diangkat jadi P3K, maka konsekuensinya berdampak pada fiskal daerah. Terutama dengan tambahan beban tunjangan dan hak pegawai lainnya.
“Kalau semua diangkat jadi P3K maka beban APBD kita akan otomatis paling tinggi secara keseluruhan di Kaltim,” pungkasnya.(lia/ndi/adv)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Follow instagram “editorialkaltim”, caranya klik link https://www.instagram.com/editorialkaltimcom/ untuk mendapatkan informasi terkini lainnya.