Opini

Memajukan Kalimantan Timur dari Akar Manusia

Oleh: Aji Cahyono, Program Master Kajian Timur Tengah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Founder Indonesian Coexistence

Editorialkaltim.com – Pembangunan Kalimantan Timur (Kaltim) pada dekade ini berada pada titik paling menentukan dalam sejarahnya. Hadirnya Ibu Kota Nusantara (IKN), arus investasi, laju industrialisasi sumber daya alam, hingga perubahan demografi yang cepat membuat Kaltim menjadi laboratorium masa depan Indonesia.

Dalam konteks tulisan ini, penulis berupaya memunculkan diskursus pentingnya pelibatan masyarakat adat dan komunitas urban termasuk para transmigran yang peka terhadap pembangunan yang dilaksanakan secara kolektif-kolegial sebagai pilihan moral sekaligus syarat keberlanjutan, syarat keadilan, dan syarat damai sosial.

Bung Karno sejak awal mengingatkan bahwa pembangunan Indonesia bertumpu pada Trisakti: berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Prinsip inilah yang relevan untuk membaca pembangunan Kaltim hari ini.

Oleh karena itu, tulisan ini berupaya menghadirkan pembaharuan cara pandang tentang bagaimana masyarakat adat dan masyarakat urban transmigrasi dapat berperan aktif dalam membangun Kaltim yang berkemajuan, adil, sejahtera, dan damai tanpa menghilangkan identitas, sejarah, dan hak mereka sebagai rakyat dan bangsa.

Kaltim di Pusaran Transformasi Besar

Kaltim merupakan kawasan dengan sejarah panjang interaksi antar-kelompok seperti suku Dayak, Kutai, Banjar, Bugis, Jawa, dan lain-lain hingga kelompok urban modern yang datang melalui transmigrasi atau migrasi spontan. Sejak masa kolonial hingga era pasca-kemerdekaan, Kaltim menjadi ruang perjumpaan manusia dan budaya.

Kini, hadirnya IKN di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara membuat transformasi itu semakin masif. Data Bappenas memproyeksikan bahwa pada tahun 2045, penduduk Kaltim bisa mencapai 7–8 juta jiwa, dengan komposisi pendatang yang terus meningkat.

Baca  KAMMI KALTIMTARA: Tambang Ilegal Itu Ditindak, Jangan Diampuni!

Kondisi ini bisa membawa dua kemungkinan: pertama, menjadi ruang integrasi sosial baru yang harmonis; atau kedua, menjadi ruang ketegangan jika pembangunan mengabaikan rasa keadilan dan identitas kelompok. Oleh karena itu, pelibatan masyarakat adat dan komunitas transmigrasi mesti dipandang sebagai investasi peradaban.

Masyarakat Adat dan Penduduk Transmigran

Selama ini, masyarakat adat sering dilihat semata-mata sebagai “pihak yang harus diberi kompensasi” dalam proyek pembangunan. Selain itu, masyarakat adat di Kaltim (Dayak Kenyah, Aoheng, Bahau, Benuaq, Paser, dan lainnya) memegang peran kunci sebagai aktor pengetahuan yang paling memahami lanskap ekologi Kaltim: hutan, sungai, pola migrasi satwa, hingga siklus musim. Mereka bukan “penghalang pembangunan”, melainkan penjaga rel pembangunan agar tidak menyimpang.

Tiga kontribusi penting masyarakat adat:

Pertama, pengetahuan ekologis yang memiliki nilai lebih. Banyak praktik pengelolaan hutan seperti Tana’ Ulen, Lati Tana, atau ladang berpindah yang diatur adat dengan prinsip keseimbangan. Cara pandang ini penting untuk memastikan pembangunan tidak melahirkan kerusakan ekologis jangka panjang.

Kedua, modal sosial untuk perdamaian. Kearifan lokal seperti musyawarah adat, ruang pertemuan kampung, atau ritus komunal merupakan mekanisme damai yang terbukti bertahan ratusan tahun.

Ketiga, landasan identitas dan kepribadian daerah. Bung Karno menekankan bahwa bangsa yang besar harus berkepribadian dalam budaya. Masyarakat adat merupakan bagian esensial dari kepribadian Kaltim.

Yang dibutuhkan bukan hanya “pelibatan”, tetapi partisipasi bermakna keterlibatan sejak tahap penentuan prioritas pembangunan.

Baca  OIKN Jamin 75% Kawasan IKN Hijau, Warga Bisa Lihat Bekantan Saat Bangun Tidur

Selain itu, Kaltim dibangun oleh banyak tangan. Para transmigran Jawa di Kutai Kartanegara, suku Bugis dan Banjar yang menghidupkan pasar tradisional, pendatang Sulawesi yang menggerakkan perikanan dan tambak, hingga komunitas urban profesional yang datang dari berbagai kota besar.

Kontribusi nyata mereka terlihat dalam suplai pangan, memperkuat industri jasa dan perdagangan, pendidikan, kesehatan, dan jaringan sosial-ekonomi lintas daerah. Transmigrasi, terlepas dari problem masa lalu, menciptakan ruang integrasi antar-etnis. Di banyak desa, anak-anak Jawa, Bugis, Banjar, dan Dayak tumbuh bersama tanpa sekat. Inilah modal sosial masa depan Kaltim.

Namun tantangannya adalah bagaimana menyatukan keragaman dalam visi bersama, ketika pembangunan begitu cepat dan tidak semua kelompok memiliki akses yang sama.

Trisakti Bung Karno: Jalan Menuju Kaltim Maju

Untuk menghindari ketimpangan, konflik, dan alienasi sosial, kita perlu kembali pada prinsip Trisakti Bung Karno:

Pertama, berdaulat secara politik.

Masyarakat adat harus memiliki ruang politik nyata, seperti hak konsultasi, pengakuan wilayah adat, dan keterwakilan dalam pengambilan keputusan pembangunan. Komunitas urban dan transmigran pun harus dilibatkan dalam perencanaan kota, tata ruang, dan layanan publik.

Kedua, berdikari secara ekonomi.

Pembangunan Kaltim tidak dapat hanya bergantung pada investor besar. Ekonomi lokal pasar rakyat, koperasi, UMKM, pertanian rakyat, industri kreatif harus menjadi tulang punggung. Masyarakat adat perlu akses perhutanan sosial, sementara komunitas transmigran perlu diperkuat kapasitas kewirausahaannya.

Ketiga, berkepribadian dalam kebudayaan.

Baca  PPN PMSE Siap Diberlakukan Jangan Sampai UMKM Gigit Jari

IKN dan kota-kota di Kaltim tidak boleh menjadi “salinan Jakarta”. Identitas Kaltim harus hadir sebagai mozaik budaya Dayak, Jawa, Bugis, Banjar, dan gaya hidup urban modern.

Agar pembangunan tidak hanya indah di atas kertas, beberapa strategi konkret perlu diterapkan: dialog lintas komunitas secara rutin, pengakuan wilayah adat, pendidikan multikultural berbasis lokal, skema ekonomi bersama, dan tata ruang partisipatif.

Membangun Masa Depan Kaltim dari Akar Manusia

Pembangunan Kaltim tidak boleh hanya dilihat sebagai pembangunan fisik; pembangunan sejati adalah pembangunan manusia dan relasi sosialnya. Bung Karno mengingatkan bahwa bangsa yang kuat adalah bangsa yang mengetahui siapa dirinya, berdiri di atas kaki sendiri, dan tidak kehilangan jiwa di tengah modernitas.

Kaltim memiliki modal seperti pengetahuan adat, energi produktif transmigran, dan kreativitas masyarakat urban. Kini tugas kita adalah merajut semuanya menjadi kekuatan yang saling menguatkan.

Kaltim akan maju bukan karena gedung-gedung tinggi, tetapi karena warganya kompak, saling memuliakan, dan bekerja untuk masa depan yang adil, sejahtera, dan damai.

Dan itu hanya mungkin jika pembangunan dimulai dari akar manusia dari adat yang bijak, dari transmigran yang bekerja keras, dari urban yang kreatif, dari semua warga yang menjadikan Kaltim sebagai rumah bersama.(*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi editorialkaltim.com

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Follow instagram “editorialkaltim”, caranya klik link https://www.instagram.com/editorialkaltimcom/ untuk mendapatkan informasi terkini lainnya.

Related Articles

Back to top button