Eks Kepala BMKG Sebut Faktor Manusia Dominan Picu Banjir Sumatra

Editorialkaltim.com— Banjir dan tanah longsor yang melanda sejumlah wilayah di Sumatra kembali menguatkan peringatan lama tentang kerentanan Indonesia terhadap krisis iklim. Mantan Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menilai rangkaian bencana tersebut merupakan hasil pertemuan dua kekuatan besar, dinamika alam yang menjadi ciri kawasan Sumatra, dan perubahan iklim akibat aktivitas manusia yang kini meningkat jauh lebih cepat dari kemampuan alam beradaptasi.
Menurut Dwikorita, rekonstruksi suhu Bumi selama 400 juta tahun terakhir menunjukkan bahwa perubahan iklim pernah terjadi melalui mekanisme alamiah seperti aktivitas vulkanik, variasi orbit, dan perubahan sirkulasi samudra. Namun, pola pemanasan yang berlangsung dalam 150 tahun terakhir tidak dapat dijelaskan oleh siklus geologis semata.
“Laju kenaikan suhu sekarang tidak sesuai dengan pola alamiah. Faktor terbesar datang dari kegiatan manusia emisi gas rumah kaca, hilangnya tutupan hutan, dan proses industrialisasi,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (7/12/2015).
Ia menjelaskan kenaikan suhu menyebabkan udara menyimpan lebih banyak uap air. Ketika dilepaskan sebagai hujan, energinya menjadi jauh lebih intens sehingga memicu curah hujan ekstrem. Pada saat bersamaan, struktur geologis Sumatra yang dipenuhi lereng curam, sesar aktif, serta batuan yang mudah lapuk membuat wilayah ini semakin rentan.
Kerusakan tutupan lahan memperburuk keadaan. Kawasan hulu yang semestinya menjadi penyangga air kehilangan kemampuannya untuk menyerap limpasan. Akibatnya, hujan ekstrem berubah lebih cepat menjadi banjir bandang, sementara longsor dapat menyumbat aliran sungai dan memicu banjir susulan.
“Ini yang disebut coupled hazards. Faktor alam bertemu dengan faktor antropogenik dan keduanya saling memperkuat. Dampaknya tentu jauh lebih besar,” jelasnya.
Dwikorita menyebut kejadian di Sumatra bukanlah kasus yang berdiri sendiri, melainkan penanda bahwa sistem lingkungan Indonesia semakin berada di bawah tekanan. Ia menggambarkannya sebagai “bom waktu” yang menuntut perhatian segera.
Ia menekankan perlunya membangun sistem mitigasi dan adaptasi yang bertumpu pada pemulihan lingkungan, bukan sekadar penanganan teknis jangka pendek. Langkah tersebut, menurutnya, hanya dapat efektif jika disertai kajian ilmiah dan pemanfaatan teknologi yang tepat.
“Mitigasi bencana hidrometeorologi harus kembali ke fondasi utamanya: melindungi dan memulihkan lingkungan,” tegas Dwikorita.(ndi)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Follow instagram “editorialkaltim”, caranya klik link https://www.instagram.com/editorialkaltimcom/ untuk mendapatkan informasi terkini lainnya.



