
Editorialkaltim.com — Bangunan nonpermanen dan permanen yang berada di atas badan sungai masih menjadi permasalahan utama dalam penataan Kota Samarinda.
Ketua Komisi III DPRD Kota Samarinda, Deni Hakim Anwar, menilai adanya bangunan-bangunan tersebut justru menghambat aliran air, sehingga saat hujan berintensitas tinggi, kapasitas sungai tidak bisa menampung debit air, lalu terjadi luapan ke badan jalan serta ke kawasan permukiman.
“Aturan dalam mendirikan bangunan itu minimal ada jarak 30 hingga 50 meter dari tepi sungai. Jelas terjadi pelanggaran jika dibangun tepat di atas sungai,” kata Deni, Senin (7/7/2025).
Ia juga menekankan, selain terjadinya penghambatan aliran air pada bangunan liar di atas sungai, juga berisiko memunculkan gesekan sosial jika dilakukan pembongkaran secara sepihak.
Deni menilai, guna mencegah potensi terjadinya konflik dengan warga, penting dilakukan pendekatan persuasif dan dialogis guna menangani persoalan ini. Akan tetapi, ia juga menegaskan jika pemilik lahan tak menunjukkan itikad baik untuk membongkar secara sukarela, maka langkah penegakan hukum harus diambil sebagai bentuk kepastian dan keadilan untuk menata kawasan tersebut.
“Kami mendukung upaya pemerintah dalam melakukan penertiban. Ini bukan semata menegakkan aturan, namun juga demi keselamatan ribuan warga lain yang terdampak banjir setiap tahunnya,” ujarnya.
Ia juga mengimbau kepada masyarakat untuk tidak membangun tempat tinggal tepat di atas sungai, atau dapat membongkar secara sukarela ketika telah mendapat pemberitahuan dari pihak pemerintah.
“Sungai bukan tempat untuk mendirikan bangunan. Mari bersama melindungi sungai kita agar tidak terus memperparah banjir di Kota Samarinda,” tutup Deni. (nit/ndi/adv)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Follow instagram “editorialkaltim”, caranya klik link https://www.instagram.com/editorialkaltimcom/ untuk mendapatkan informasi terkini lainnya.