Oleh: Tengku Imam Syarifuddin, Masyarakat Sipil
Editorialkaltim.com –Hari Minggu kemarin, Komisi Pemilihan Umum Kalimantan Timur kembali menggelar tahapan Pemilihan Kepala Daerah, yaitu kampanye yang dikemas melalui debat publik. Debat ini adalah yang kedua setelah debat pada 21 Oktober 2024. Berbeda dari sebelumnya, debat kedua mengusung tema khusus “Tata Kelola Pemerintahan dan Pemberdayaan Masyarakat.” Debat publik ini menjadi platform bagi pasangan calon untuk memaparkan visi, misi, program, serta gagasan kepada masyarakat, sekaligus membangun legitimasi bahwa mereka memiliki komitmen dan solusi untuk menghadapi berbagai tantangan, terutama terkait tata kelola pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat.
Sebagai masyarakat Kalimantan Timur, wajar memiliki harapan besar agar para calon menyampaikan gagasan yang konkret, solutif, dan berorientasi pada kemajuan. Mengingat tantangan era disrupsi, pemerintah tidak lagi hanya berfungsi sebagai penyedia layanan publik konvensional, tetapi juga harus berorientasi pada digitalisasi, kesejahteraan, dan pemenuhan hak-hak dasar masyarakat Kalimantan Timur. Karena itu, wajar jika masyarakat berharap debat ini akan menjadi ajang pertarungan gagasan yang substansial.
Namun, realitas yang terjadi dalam debat publik semalam justru berfokus pada intrik emosional antara kedua pasangan calon. Alih-alih menyajikan solusi strategis, perdebatan diwarnai dengan serangan pribadi yang membuang kesempatan penting untuk membahas isu-isu strategis. Ketika debat dipenuhi oleh intrik emosional, masyarakat bisa merasa kedua pasangan calon hanya berfokus pada pencitraan diri dan persaingan politik, bukan solusi konkret bagi permasalahan Kalimantan Timur.
Realita Debat: Fokus pada Intrik Emosional dan Serangan Personal
Debat publik kedua lebih banyak menyoroti intrik emosional dan serangan pribadi. Kedua pasangan calon saling menuding tanpa menampilkan strategi konkret untuk tata kelola pemerintahan maupun pemberdayaan masyarakat. Misalnya, pasangan calon Rudy-Seno menanyakan kasus yang menyeret mantan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Alam pada masa kepemimpinan Isran-Hadi, yang dibalas oleh pasangan Isran-Hadi dengan menyinggung kasus terkait anggota Bani Mas’ud lainnya, Abdul Gafur Mas’ud, mantan Bupati Penajam Paser Utara.
Ketika diberikan giliran bertanya, pasangan Isran-Hadi kembali menyinggung masalah kontroversial pergantian jabatan mantan Ketua DPRD Kalimantan Timur Makmur HAPK kepada Hasanuddin Mas’ud, anggota keluarga Bani Mas’ud. Intrik emosional ini membuat debat kehilangan esensi sebagai ajang adu gagasan. Beberapa gagasan yang sempat disinggung di awal pun tampak hanya permukaan dan tidak dilengkapi rencana implementasi yang jelas.
Implikasi terhadap Persepsi dan Partisipasi Masyarakat
Dominasi intrik emosional dan serangan pribadi dalam debat ini bisa memicu skeptisisme publik terhadap kemampuan pasangan calon dalam menyelesaikan permasalahan utama Kalimantan Timur. Persepsi bahwa calon lebih mementingkan pencitraan pribadi daripada solusi realistis bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap integritas dan kapabilitas calon dalam memimpin provinsi. Debat yang seharusnya mendidik masyarakat mengenai visi dan rencana pembangunan kehilangan nilai edukatifnya, sehingga publik tidak mendapat gambaran yang jelas tentang pilihan mereka. Hal ini berpotensi membuat proses demokrasi menjadi kurang efektif.
Jika masyarakat merasa debat tidak memberikan manfaat nyata, ini bisa menimbulkan apatisme politik, terutama di kalangan pemilih muda yang menginginkan pemimpin progresif. Sikap apatis ini bisa berdampak negatif pada partisipasi politik dan melemahkan demokrasi, sekaligus mengurangi legitimasi pasangan calon yang nantinya terpilih.
Penutup
Debat calon gubernur seharusnya menjadi sarana untuk memaparkan gagasan yang kuat dan berwawasan, bukan ajang intrik emosional. Sayangnya, ketika debat lebih didominasi oleh serangan pribadi, kesempatan untuk membahas solusi konkret bagi kemajuan terbuang sia-sia. Hal ini mengecewakan masyarakat yang menginginkan perubahan, dan menimbulkan kesan bahwa para calon lebih fokus pada persaingan pribadi daripada visi jangka panjang untuk Kalimantan Timur.
Seperti kata Marcus Aurelius, “The soul becomes dyed with the color of its thoughts,” yang berarti pemimpin sejati harus menghiasi tindakannya dengan pemikiran bijak yang mampu menginspirasi masyarakat secara positif. Untuk itu, para calon disarankan lebih menekankan substansi dalam debat berikutnya dan fokus pada isu-isu yang relevan bagi masyarakat. Debat selanjutnya harus menjadi ajang pertarungan gagasan nyata, bukan arena untuk intrik pribadi, sehingga masyarakat bisa memilih berdasarkan visi dan solusi yang jelas serta terhindar dari apatisme dan skeptisisme politik. (*)
*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi editorialkaltim.com
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Follow instagram “editorialkaltim”, caranya klik link https://www.instagram.com/editorialkaltimcom/ untuk mendapatkan informasi terkini lainnya.