Bolehkah Menerima Serangan Fajar? Ini Hukumnya dalam Islam
Editorialkaltim.com – Fenomena “Serangan Fajar” telah lama menjadi topik hangat di tengah masyarakat Indonesia, khususnya menjelang hari-H pemungutan suara dalam berbagai ajang pemilihan.
Istilah ini mengacu pada praktik politik uang yang kerap terjadi di eleventh hour, menjelang pengambilan suara, di mana para calon atau pendukungnya membagikan uang, sembako, atau barang lainnya kepada pemilih. Tujuannya jelas: untuk mempengaruhi pilihan masyarakat di bilik suara.
Praktik ini, yang bagaikan hantu yang membayangi proses demokrasi, terus menjadi sorotan karena dampaknya yang menggerogoti nilai-nilai luhur dan menghambat terciptanya pemilihan umum yang adil dan berintegritas.
Politik uang tidak hanya merendahkan martabat pemilih, tetapi juga merusak fondasi demokrasi dengan menggantikan pilihan rasional pemilih dengan imbalan materi. Akibatnya, suara rakyat tidak lagi mencerminkan aspirasi mereka terhadap visi dan misi calon pemimpin, melainkan terdistorsi oleh jumlah uang yang diberikan.
Dalam upaya menegakkan nilai-nilai kejujuran dan integritas dalam proses demokrasi, Komisi Waqi’iyyah Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah telah mengambil langkah tegas dengan mengeluarkan keputusan yang menyatakan bahwa praktik politik uang, termasuk yang dikenal dengan “Serangan Fajar ajar”, adalah haram menurut hukum Islam.
Keputusan ini didasarkan pada tiga alasan utama yang menggarisbawahi keharaman politik uang. Pertama, praktik ini termasuk dalam kategori risywah (suap), yang secara mutlak dilarang dalam Islam karena dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap hak-hak individu dan merupakan dosa besar.
Kedua, politik uang juga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Umum, khususnya Pasal 187A, yang secara eksplisit melarang pemberian dan penerimaan uang atau imbalan lainnya untuk mempengaruhi suara pemilih, dengan pelanggaran terhadap pasal ini dapat dikenakan sanksi pidana.
Ketiga, praktik ini dianggap sebagai penyebab kerusakan dalam sistem bernegara dan sosial kemasyarakatan, di mana larangan terhadap politik uang dianggap sebagai langkah preventif untuk menghindari kerusakan tersebut.
Dalam kajian lebih dalam, Syekh Khatib Asy-Syirbini dalam kitab Mughni Muhtaj, mendefinisikan suap atau risywah sebagai tindakan memberi sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk melakukan sesuatu yang tidak adil atau tidak benar, menegaskan bahwa suap merupakan tindakan tercela dan bertentangan dengan hukum.
Taqiyuddin As-Subki dalam Fatawas Subki juga menyatakan bahwa praktik politik uang termasuk dalam kategori risywah, yang hukumnya adalah haram, dengan penjelasan detail tentang kondisi dan situasi yang dapat memperbolehkan atau melarang pemberian suap.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Follow instagram “editorialkaltim”, caranya klik link https://www.instagram.com/editorialkaltimcom/ untuk mendapatkan informasi terkini lainnya.