NasionalOpiniZona Kampus

Akademisi Unmul Soroti Polemik Tukin Dosen, Janji yang Masih Abu-Abu

Akademisi Ilmu Pemerintahan Universitas Mulawarman,Safaranita Nur Effendi (Foto: Dok Pribadi)

Editorialkaltim.com – Isu diskriminasi tunjangan kinerja (tukin) kembali mencuat setelah Fatimah, seorang dosen Kemendikbud yang berstatus ASN sejak 2011, mengungkapkan kekecewaannya dalam sebuah video yang dirilis oleh Detik Finance. Fatimah mengaku selama 11 tahun menunggu haknya mendapatkan tunjangan kinerja yang hingga kini tak kunjung cair.

“Meski sudah bergelar S2 bahkan S3, gaji saya justru lebih kecil dibanding tenaga admin dan tenaga pendidik lainnya,” ujar Fatimah.

Ia menyebut hal ini sebagai bentuk ketidakadilan dan kegagalan pemerintah memberikan kepastian kesejahteraan bagi dosen.

Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Satryo Soemantri Brodjonegoro, sebelumnya menyatakan bahwa pencairan tukin yang tertunda lima tahun terakhir akan diupayakan pada 2025.

Baca  4 Guru Besar Universitas Mulawarman Resmi Dikukuhkan

Namun, pernyataan tersebut dinilai hanya menenangkan sementara tanpa solusi konkret. Permasalahan ini berakar pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2025 tentang ASN, di mana tunjangan kinerja hanya berlaku bagi ASN administratif, sementara dosen hanya menerima tunjangan profesi.

Ketertinggalan kesejahteraan dosen Indonesia dibanding negara lain semakin memperparah polemik ini. Gaji pokok dosen ASN di Indonesia hanya sekitar Rp5,6 juta per bulan, jauh lebih kecil dibandingkan Malaysia (Rp13 juta–Rp20 juta), Singapura (Rp75 juta–Rp208 juta), bahkan Amerika Serikat (Rp60 juta–Rp120 juta). Padahal, beban kerja dosen Indonesia meliputi pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

“Bagaimana bisa mengharapkan dosen menghasilkan lulusan berkualitas jika kesejahteraan mereka tidak dijamin? Beban kerja tinggi tidak sebanding dengan penghasilan yang diterima,” kata Safaranita Nur Effendi, akademisi Universitas Mulawarman.

Baca  Ini Profil AHY, Menteri ATR/BPN Baru Jokowi

Kendala Nomenklatur dan Alokasi Anggaran

Salah satu kendala utama adalah perubahan nomenklatur kementerian dari Kemendikbud ke Kemendikbudristek, hingga kini menjadi Kemendiktisaintek. Perubahan ini dinilai tidak konsisten dan berdampak pada alokasi anggaran. Meski RAPBN 2025 mencatat anggaran Kemendikbudristek sebesar Rp83,18 triliun, kebutuhan tukin dosen Rp2,6 triliun belum terakomodasi.

“Seharusnya nomenklatur mempermudah pengelolaan anggaran, bukan menjadi hambatan,” kritik Safaranita.

Situasi ini memaksa banyak dosen mencari pekerjaan sampingan demi mencukupi kebutuhan hidup.

Tak hanya dosen ASN, dampak juga dirasakan oleh dosen non-ASN dan Dosen Luar Biasa. Seluruh ekosistem pendidikan tinggi menjadi korban ketidakpastian kebijakan pemerintah.

Baca  Mahasiswa Unmul Raih Juara 2 Gender Champion 2024

Para dosen menilai pemerintah lambat dan tidak konsisten dalam menangani masalah kesejahteraan.

Selain itu, proses sertifikasi dosen (Serdos) yang rumit menambah beban psikologis mereka. Menteri Satryo berjanji akan mengevaluasi kebijakan tukin, namun tanpa jaminan realisasi konkret, hal ini hanya dianggap sebagai janji kosong.

Safaranita menegaskan, pemerintah harus mengambil langkah tegas dan transparan dengan mengutamakan kesejahteraan dosen.

“Jika pemerintah tidak segera bertindak, profesi dosen akan terus menjadi korban ketidakadilan sistem,” tegasnya.(ndi)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Follow instagram “editorialkaltim”, caranya klik link https://www.instagram.com/editorialkaltimcom/ untuk mendapatkan informasi terkini lainnya.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Back to top button

Adblock Detected

Please consider supporting us by disabling your ad blocker