Ahli: MK Tak Berhak Atasi Pelanggaran Administratif Pemilu
Editorialkaltim.com – Abdul Chair Ramadhan, seorang pakar hukum tata negara sekaligus Ketua Umum Persatuan Doktor Pascasarjana Hukum Indonesia, menegaskan Mahkamah Konstitusi (MK) tidak memiliki wewenang untuk mengadili kasus pelanggaran administratif Pemilu. Menurutnya, MK hanya memiliki kewenangan untuk menangani sengketa hasil penghitungan suara dari perspektif kuantitatif.
Dalam keterangan tertulis dilansir Detik pada Sabtu (30/3/2024), Abdul mengungkapkan kewenangan MK terbatas pada masalah penghitungan suara dengan pendekatan kuantitatif dan tidak melibatkan diri dalam menilai pelanggaran administratif Pemilu, khususnya yang bersifat Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM). Pendekatan semacam itu, kata dia, lebih bersifat kualitatif dan bukan dalam ranah MK.
“Kewenangan Mahkamah Konstitusi dibatasi hanya pada penyelesaian hasil hitungan suara dari sudut pandang kuantitatif. Mahkamah Konstitusi tidak memiliki wewenang untuk menangani Kasus Pelanggaran Administratif dalam Pemilu, terutama yang berjenis TSM karena ini lebih mengarah ke analisis kualitatif,” kata Abdul.
Lebih lanjut, Abdul mengkritik permohonan yang diajukan oleh pasangan calon nomor urut 1 dan 3, yang berfokus pada dugaan pelanggaran administrasi Pemilu secara TSM.
Dia menegaskan hal ini seharusnya menjadi tanggung jawab Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), asalkan terdapat bukti yang berkualitas dan dapat menunjukkan adanya kausalitas dengan hasil suara yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dia menjelaskan ada perbedaan mendasar antara perselisihan hasil penghitungan suara, yang merupakan domain MK, dengan pelanggaran administratif Pemilu. Perselisihan hasil penghitungan suara mengadopsi pendekatan matematis atau kuantitatif, berbeda dengan kasus pelanggaran administratif yang lebih mengutamakan analisis kualitatif.
Menurut Abdul, pelanggaran administratif Pemilu harusnya dilaporkan ke Bawaslu terlebih dahulu, sesuai dengan Pasal 12 Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2022. Hal ini penting karena tanpa adanya laporan semacam itu, gugatan yang diajukan kepada MK akan kehilangan dasar hukumnya.
Abdul menambahkan, dalam kasus ini, baik kubu 01 maupun 03 sebelumnya tidak melaporkan dugaan pelanggaran administratif Pemilu ke Bawaslu. Akibatnya, gugatan yang diajukan ke MK dianggap tidak memiliki objek gugatan yang valid.
“Pada perkara a quo, kedua Pemohon ternyata tidak menyampaikan Laporan dugaan Pelanggaran Administratif Pemilu kepada Bawaslu. Hal ini berdampak bahwa dugaan Pelanggaran Administratif Pemilu dianggap tidak pernah ada,” jelas Abdul.
Terakhir, Abdul menekankan jika pemohon tidak mengajukan perkara ke MK tetapi langsung ke Bawaslu, lembaga tersebut memiliki kewenangan untuk merekomendasikan pembatalan pasangan calon berdasarkan pelanggaran administratif Pemilu secara TSM. Keputusan akhir mengenai diskualifikasi tersebut akan ditentukan oleh KPU.
“Situasi berbeda terjadi jika pemohon memilih untuk tidak mengajukan kasus ke Mahkamah Konstitusi tetapi langsung ke Bawaslu. Dalam kasus seperti ini, Bawaslu memiliki kewenangan untuk menyarankan pembatalan nominasi Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan pelanggaran administratif pemilu yang bersifat TSM, dan KPU yang akan membuat keputusan akhir tentang diskualifikasi,” pungkasnya. (ndi)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Follow instagram “editorialkaltim”, caranya klik link https://www.instagram.com/editorialkaltimcom/ untuk mendapatkan informasi terkini lainnya.