Opini

Kegagalan Negara dalam Menjaga Keselamatan Publik atas Tragedi Pesantren Al Khoziny


Oleh: Muhammad Fahmi Risaldy (Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP UNMUL)

Editorialkaltim.com – Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang berfungsi sebagai tempat pembinaan ilmu agama, tempat belajar, dan memperdalam ajaran Islam. Oleh karena itu, pesantren seharusnya menjadi ruang yang aman dan nyaman bagi para santri dalam menuntut ilmu. Namun, kenyataannya tidak semua pesantren mampu mewujudkan hal tersebut. Banyak bangunan pesantren dibangun tanpa izin dan tanpa pengawasan yang memadai, sehingga menimbulkan risiko besar terhadap keselamatan penghuni di dalamnya. Kegagalan pengawasan ini menjadi cermin kelalaian pemerintah dalam memastikan keamanan bangunan keagamaan di Indonesia.

Tragedi yang terjadi di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur, menjadi bukti nyata lemahnya sistem tersebut. Peristiwa memilukan itu terjadi pada Senin, 29 September 2025, sekitar pukul 15.00 WIB. Saat kejadian, ratusan santri sedang melaksanakan salat Asar berjemaah di lantai dua gedung yang sedang dalam proses pembangunan (detikjatim, 2025). Diketahui, bangunan tersebut sedang menjalani pengecoran di lantai empat, yang justru dikerjakan oleh para santri sendiri. Diduga kuat fondasi bangunan tidak cukup kokoh menahan beban, sementara bangunan tersebut juga tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau yang kini dikenal sebagai Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) (Metrotvnews, 2025).

Baca  2045: Lahirnya Generasi Emas dengan Syarat Ini

Fakta ini menunjukkan bahwa tidak ada jaminan keamanan dalam proses pembangunan pondok tersebut. Beberapa laporan bahkan menyebutkan para santri ikut bekerja secara cuma-cuma, bahkan dalam beberapa kasus dijadikan bagian dari hukuman. Ironisnya, keterlibatan santri dalam pembangunan justru memperburuk kondisi keamanan. Proses evakuasi berlangsung selama sembilan hari dan berujung tragis: 67 orang meninggal dunia dan 104 lainnya mengalami luka-luka (IDN Times, 2025). Tragedi ini sejatinya bisa dihindari jika pemerintah menegakkan pengawasan ketat terhadap pembangunan pesantren tanpa izin.

Dalam regulasi sebenarnya sudah sangat jelas. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 mengenai Bangunan Gedung (PP No. 16/2021), Pasal 1 ayat 17 menyatakan bahwa PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik bangunan untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan sesuai standar teknis yang berlaku. Artinya, setiap pembangunan wajib mendapatkan izin dari pemerintah. Lalu mengapa pondok pesantren Al Khoziny bisa membangun tanpa izin? Mengapa pemerintah daerah tidak menindak tegas pelanggaran tersebut?

Padahal, Peraturan Bupati Sidoarjo Nomor 103 Tahun 2017 Pasal 1 ayat 8 menegaskan bahwa IMB merupakan perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Sidoarjo kepada pemilik bangunan untuk membangun atau mengubah bangunan sesuai persyaratan administratif dan teknis. Aturan ini menjadi dasar kuat bagi pemerintah untuk memberikan sanksi terhadap bangunan tanpa izin. Kenyataannya, pengawasan justru lemah, dan pembiaran terjadi secara terus-menerus.

Baca  Publikasi Opini Keamanan Pangan Untuk Semua

Kelemahan pengawasan ini diperparah oleh data yang disampaikan Menteri Pekerjaan Umum (PU), Dody Hanggodo, yang menyebut hanya ada 50 pondok pesantren di Indonesia yang memiliki izin PBG. Padahal, menurut data Kementerian Agama, terdapat 42.391 pondok pesantren di seluruh Indonesia (detikhikmah, 2025). Ketimpangan angka ini menegaskan lemahnya tindakan pemerintah. Sosialisasi yang hanya sebatas teori tanpa langkah nyata membuat masyarakat kehilangan kepercayaan. Pemerintah seharusnya hadir secara konkret, bukan sekadar simbolik, dalam menjamin bangunan pendidikan keagamaan yang aman dan berizin.

Dalam perspektif teori political will atau kemauan politik, sebagaimana dijelaskan detikjogja (2024), kemauan politik mencerminkan seberapa besar kesungguhan para pembuat kebijakan dalam mendukung solusi terhadap suatu persoalan publik. Jika kemauan politik pemerintah daerah Sidoarjo benar-benar kuat, tragedi ini tak akan terjadi. Ini bukan semata urusan takdir, tetapi kegagalan sistem pengawasan. Ironisnya, pemerintah justru berencana menggunakan dana APBN untuk membangun ulang pesantren yang roboh, padahal masalah utamanya bukan pembangunan, melainkan pengawasan dan legalitas bangunan yang diabaikan.

Baca  Goa Tapak Raja dan Pesona Wisata IKN

Pemerintah seharusnya bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang lalai dan membiarkan pelanggaran terjadi. Mereka yang membangun tanpa izin dan abai menjalankan fungsi pengawasan mesti diadili. Di mana pemerintah ketika puluhan ribu bangunan tanpa izin berdiri? Mengapa perhatian baru muncul setelah korban berjatuhan? Kejadian di Ponpes Al Khoziny memperlihatkan bahwa kepedulian pemerintah muncul bukan karena tanggung jawab, tetapi karena tekanan publik. Political will mereka tampak hanya ketika bencana terjadi, bukan sebagai bentuk komitmen sejak awal.

Ke depan, pemerintah harus memperkuat sistem pengawasan, memberikan sanksi tegas kepada pesantren yang tidak memiliki izin pembangunan, dan memastikan setiap proyek konstruksi melibatkan pengawasan teknis yang profesional. Pengurus pesantren pun wajib melapor kepada pemerintah daerah sebelum membangun agar pengawasan dapat dilakukan sejak awal. Negara tidak boleh lagi gagal menjaga keselamatan publik. Tragedi Al Khoziny seharusnya menjadi pelajaran pahit bahwa keselamatan rakyat adalah tanggung jawab negara, bukan sekadar urusan administratif belaka.(*)

*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi editorialkaltim.com

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Follow instagram “editorialkaltim”, caranya klik link https://www.instagram.com/editorialkaltimcom/ untuk mendapatkan informasi terkini lainnya.

Related Articles

Back to top button