Alat Peraga Sosialisasi Vs Alat Peraga Kampanye

Budi Wibowo, SE (Akademi Pemilu & Demokrasi Koorda. Kabupaten Kutai Timur).

Ditulis oleh: Budi Wibowo, SE (Akademi Pemilu & Demokrasi Koorda. Kabupaten Kutai Timur)

Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.15/2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum, kampanye didefinisikan sebagai kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh Peserta Pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu. Sedangkan di Bawaslu, masih menggunakan aturan lama yaitu di perbawaslu No.28/2018 tentang Pengawasan Kampanye Pemilihan Umum. Belum ada perbawaslu terbaru mengenai masa kampanye pemilu serentak 2024 nanti.

Dalam melihat norma PKPU tersebut, tentu kita bersama bisa mengartikan bahwa PKPU No.15 tersebut akan berlaku saat memasuki tahapan kampanye, dan mengikat hanya terhadap peserta pemilu atau yg disebutkan dalam regulasi tersebut seperti pelaksana kampanye, termasuk juru kampanye didalamnya. Sama hal nya dengan peserta pemilu yang tersebut dalam PKPU tersebut, peserta pemilu adalah Partai Politik untuk Pemilu anggota DPR, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, perseorangan untuk Pemilu anggota DPD, dan Pasangan Calon yang diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik untuk Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Lantas bagaimana kita mengartikan dalam realitas di lapangan, banyaknya baliho, banner, flyer di sepanjang median jalan utama maupun gang-gang menuju perumahan warga?

Dalam PKPU No.15 tentang Kampanye Pemilihan Umum, pada bab X menerangkan tentang sosialisasi dan pendidikan politik. Dalam pasal 79, Partai Politik Peserta Pemilu dapat melakukan sosialisasi dan pendidikan politik di internal Partai Politik Peserta Pemilu sebelum masa Kampanye Pemilu. Dengan menggunakan metode pemasangan bendera beserta no urut partai serta pertemuan terbatas, dengan syarat menyampaikan pemberitahuan kepada KPU dan Bawaslu di setiap tingkatannya.

Namun lagi-lagi perihal regulasi PKPU No.15 maupun perbawaslu No.28/2018 ‘tidak menyentuh’ banyaknya baliho, banner, flyer bacaleg yang membuat riuh dan semarak pemilu serentak 2024. Penulis mengartikan ini adalah ruang untuk bersosialisasi, mengenalkan para peserta pemilu kepada masyarakat. Ini merupakan hak dari peserta pemilu untuk bersosialisasi, dan juga merupakan hak warga negara untuk mengetahui siapa saja bakal calon perwakilan mereka di setiap daerah, setiap jalan utama hingga di sepanjang jalan gang menuju kediaman rumah warga.

Apapun respon dari berbagai pihak, penulis mengartikan sebagai riak dalam sebuah demokrasi. Positif maupun negatif respon dapat diartikan bahwa atmosfer demokrasi berjalan dengan baik.

Kita menyadari, ada dampak negatif dan positif dari maraknya ruang sosialisasi ini, salah satunya adalah hak warga untuk mendapatkan informasi menjadi lebih luas, sedangkan dampak negatif juga cukup besar, resistensi pendukung di suatu daerah juga kerap kali bermunculan. Hal ini juga perlu direspon oleh berbagai pihak, seluruh stakeholder yg berkepentingan harus merespon dengan regulasi. Agar tidak memunculkan multitafsir dan masalah baru dalam proses demokrasi.

Bawaslu sebagai lembaga yang diberi otoritas penuh terkait dengan pengawasan tahapan pemilu harus berhati dalam menyikapi hal ini. Kehati-hatian ini tidak hanya di tingkat pusat hingga kabupaten, melainkan sampai kepada jajaran di tingkat kecamatan dan desa/kelurahan. Karena gesekan dan resistensi antar pendukung peserta pemilu kerap terjadi di tingkatan ini, terutama di bagian jauh dari pusat pemerintahan.

Kehati-hatian ini menjadi penting, karena penyelenggara pemilu juga terikat dengan regulasi internal mengenai kode etik dan penyalahgunaan kewenangan setiap tahapannya. Beberapa kali kejadian di kecamatan jauh, mengartikan untuk menghindari resistensi dan gesekan antar pendukung peserta pemilu dengan tidak membiarkan baliho, banner atau flyer terpasang. Sikap ini selain mengebiri hak peserta pemilu dan warga, penulis menilai bentuk penyalahgunaan wewenang dari pengawas pemilu itu sendiri. Maka penulis menghimbau untuk bawaslu di tingkat kabupaten untuk memastikan sikap kehati-hatian tersebut tertanamkan dengan baik di penyelenggara tingkatan terbawah nya.

Penulis melihat ruang ‘abu-abu’ ini harus dimaksimalkan oleh peserta pemilu namun dengan bertanggung jawab. Tidak adanya regulasi yang mengatur secara rigid di ranah penyelenggara pemilu bukan berarti tidak ada regulasi yang mengatur dari pemerintah setempat. Dibeberapa daerah terdapat perda yang mengatur tentang estetika kota, namun di beberapa daerah belum memiliki perda tersebut. Sehingga penting untuk peserta pemilu ‘aware’ tentang permasalahan regulasi setempat.

Dilain sisi, pemanfaatan ruang dan waktu untuk bersosialisasi tersebut patut untuk memperhatikan tempat-tempat yang dilarang untuk berkampanye. Norma yang mesti diperhatikan bukan soal giat kampanye dan giat sosialisasi nya, melainkan norma dari tempat yang dilarang, yaitu tempat ibadah, properti pribadi tanpa izin dan instansi pemerintah. Sehingga patut untuk peserta pemilu memperhatikan pemasangan alat peraga sosialisasi tidak ditempat dimana alat peraga kampanye dilarang untuk dipasang.

Konteks bertanggung jawab dalam bersosialisasi juga patut untuk diperhatikan oleh peserta pemilu. Penulis menilai, selama penetapan DCT belum dilakukan maka diksi peserta pemilu untuk bacaleg belum bisa digunakan. Hanya saja, jika pada November 2023 nanti DCT telah di-sah-kan, maka tentu ketentuan alat peraga kampanye dengan alat peraga sosialisasi berbeda. Sehingga alat peraga sosialisasi tersebut harus mengikuti ketentuan regulasi, dalam arti tidak ada lagi alat peraga sosialisasi pasca ditetapkan DCT. Konsekuensi logis adalah, peserta pemilu harus menurunkan secara mandiri alat peraga sosialisasi masing-masing dan mengganti dengan alat peraga kampanye yang telah diatur dalam PKPU No.15 tentang Kampanye Pemilihan Umum.

Terselenggaranya pemilu dengan baik, tidak hanya mengedukasi dari para penyelenggara dan warga negara atau para pemilih melainkan peserta pemilu juga harus teredukasi dengan baik. Ini adalah cara untuk mereduksi kecurangan pemilu di setiap tingkatannya. Kita semua bertanggung jawab terhadap hasil pemilu nanti, maka teguhkan hati untuk berdemokrasi yang baik. (*)

(*) Opini penulis ini merupakan tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi editorialkaltim.com

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari editorialkaltim.com. Mari bergabung di Grup Telegram “editorialkaltim”, caranya klik link, https://t.me/editorialkaltimcom kemudian join. Anda harus mengistal Telegram terlebih dahulu di ponsel.

Exit mobile version